Rabu, 09 Juli 2008

my wedding memories



Ya Rabb,, hiasilah setiap hela Nafasq dengan mengingat Kalam-Mu..

HIKMAH TAKLIF PADA MANUSIA
Terciptanya alam semesta merupakan bukti akan kekuasaan dan keesaan Allah SWT. Matahari, bumi dan planet-planet lain yang terdapat di Galaksi Bima Sakti, serta planet-planet lain yang ada di luar Galaksi kita, telah diciptakan dan diatur sedemikian rupa oleh Allah SWT. Hal ini agar manusia dapat memikirkan rahasia dan hikmah yang terkandung didalamnya.
Berputarnya bumi pada porosnya, menyebabkan adanya siang dan malam. Berputarnya bumi mengelilingi matahari menyebabkan pergantian musim pada masing-masing daerah diseluruh belahan bumi. Dengan adanya siang dan malam manusia dapat mengetahui waktu, dengan waktu itulah manusia dapat mengatur dan merencanakan aktivitasnya.
Terdapat dua jenis makhluk di bumi ini, yaitu makhluk hidup dan makhluk mati . Mahluk hidup adalah makhluk yang diciptakan Allah dengan dua elemen pokok yang terdiri dari jasad dan ruh. Allah juga melengkapi makhluk hidup ini dengan perisai untuk mempertahankan diri dari bahaya yang datang dari luar. Tanduk yang dimiliki sapi, kerbau, rusa, kambing dan hewan yang yang bertanduk lainnya. Kulit keras pada kura-kura, kulit yang bisa berubah-ubah sesuai dengan tempat yang dihinggapi, adalah perisai yang sangat berguna dalam menghadapi mangsa dan mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Manusia dibekali akal oleh Allah agar dapat membuat perisai untuk melindungi dirinya, baik dari kedholiman orang lain ataupun binatang-bintang buas yang membahayakan. Manusia mampu membuat senjata ringan seperti pisau, pedang, tombak, panah, maupun senjata pemusnah massal seperti tank, bom nuklir dan lainnya.
Adapun makhluk mati adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah tanpa ruh/jiwa, seperti udara, tanah, air, api, batu, gunung dan lainnya. Benda-benda ini tidak dapat bergerak kecuali ada faktor lain yang mempengaruhi. Namun, bukan berarti benda-benda mati tersebut tidak bermanfaat, akan tetapi benda mati ini berfungsi sebagai media penunjang bagi kehidupan makhluk hidup. Dari contoh-contoh di atas, jelaslah bahwa Allah tidak menciptakan sesuatu makhluk pun dengan sia-sia (tidak berguna).
Diantara sekian makhluk yang diciptakan Allah hanya manusialah yang diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna. Di dalam Al Qur’an Allah telah berfirman:
“Artinya: sungguh telah kuciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik”. (QS. At-tin: 4)
Syekh Ihsan Muhammad Al-Kediri, dalam kitabnya “Sirojud Tholibin” menjelaskan bahwa: terciptanya manusia dalam bentuk yang baik itu karena setiap makhluk yang bernyawa diciptakan oleh Allah dengan bentuk tubuh menelungkup, kecuali manusia yang diciptakan sebagai mahkluk yang berdiri tegak. Tidak hanya itu, manusia juga dihiasi dengan ilmu, kefahaman dan akal, karena itulah manusia lebih baik dari makhluk yang lainnya.
1
Adanya beberapa kesempurnaan yang ada pada manusia. Kesempurnaan yang paling membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lain adalah akal. Perbedaan yang paling mendasar antara manusia dengan makhluk yang lain adalah karena manusia beri perintah atau hal-hal yang mengatur diri dan kehidupannya. Perintah atau hal-hal yang mengatur kehidupannya ini disebut dengan taklif.
Pada makalah ini akan dijelaskan tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan taklif, yaitu pengertian taklif, sebab-sebab manusia diberi taklif, serta apa hikmah/tujuan yang ada dalam taklif.
1. Pengertian Taklif
Taklif adalah: perintah dan larangan Allah yang disampaikan melalui para Rasul. Taklif ini berupa berupa perintah dan larangan serta sarana-sarana yang mencegah mendekati apa yang bakal merusakkan aturan masyarakat. Taklif berfungsi untuk memakmurkan bumi yang dilakukan oleh manusia, karenanya taklif tidak berlaku untuk orang gila dan sejenisnya.
2Dalam redaksi lain disebutkan Taklif adalah tuntutan pelaksanaan beban tugas yang telah ditentukan. Adapaun orang yang dibebani tanggung jawab itu disebut Mukallaf.3
Berdasarkan tingkat kesulitan dalam mengerjakannya, taklif dikategorikan dalam 3 macam, yaitu:
Taklif yang tidak dapat disanggupi sama sekali oleh Mukallaf. Taklif ini sangat sedikit, seperti seruan Allah agar tidak boleh mati kecuali dalam keadaan muslim (Q. S 2:123). Hal itu tidak mungkin disanggupi Mukallaf ketika alam naza’, maka taklif ini dihilangkan karena tidak mungkin untuk disanggupi.
Dapat diketahui manusia dan diketahui kriteria yang diingini musyari’ . misalnya seruan shalat dengan krieteria bersih dari najis dan hadats, masuk waktu Shalat, menutup aurat, manghadap kiblat dan berbagai macam syarat dan rukun shalat lainnya. Taklif model ini paling mudah dilaksanakan karena kriterianya bersifat lahiriah dan objektif.
Dapat disanggupi mukallaf., yaitu berhubungan dengan batiniah misalnya berlaku adil kepada semua isteri. Secara lahiriah seperti memberi nafkah. Pada taklif yang ketiga ini, karena agak sulit mendeteksi adil tidaknya seorang suami yang berpoligami, maka dibutuhkan indikasi tertentu, yaitu walaupun secara batiniah tidak sama tapi dalam lahiriah harus sama.
4
2. Alasan Manusia Diberi Taklif
Dalam menjalani kehidupannya, manusia tidak bisa terlepas dari gerak yang menurut istilah para filosofi Islam dikenal dengan Al-harakah. Setiap manusia memiliki Al-Harakah sebagai sifat dasar manusia yang berfungsi utuk mengambil segala sesuatu yang bermanfaat dan menolak segala yang bersifat merusak. Al-harakah merupakan sifat dasar manusia yang telah ada sejak lahir. Sifat bawaan ini dikenal dengan fitrah, sebagaimana disebutkan dalam QS. Ar Rum ayat 30 yang Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.(QS. Ar Rum: 30)
Ayat di atas juga didukung dengan adanya Hadits Nabi yang artinya:
“ Setiap orang dilahirkan adalah dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi,Nasrani, dan Majusi”.
Fitrah yang merupakan bawaan manusia sejak lahir itu meliputi 3 daya atau potensi , yaitu:
Quwwat Al Aql, yaitu daya akal atau potensi intelektual (akal)
Quwwat Al Ghadhab, yaitu potensi defensif
Quwwat Al Syahwat, yaitu ptensi ofensif.
Ketiga daya di atas memiliki fungsi masing-masing. Daya akal adalah potensi manusia yan berfungsi untuk mengetahui Allah (ma’rifatullah) serta mengimaninya. Daya Ghadab berfunfsi untuk menghindarkan manusi dari segala yang membahayakan, sedangkan daya ofensif berfungsi untuk menginduksi objek-objek yang bermanfaat dan menyenangkan.
Apabila ditinjau dari sisi lain, jiwa manusia diciptakan suka menyuruh kepada kejahatan, dan cenderung pada kejelekan. Jiwa ibarat binatang ternak yang berjalan dalam kesesatan. Jiwa tidak mendapat petunjuk dan tidak mentaati petunjuk karena 2 kemungkinan
5:
Allah tidak memberi hikmah pada jiwa itu sehingga tidak bisa melihat cahaya Allah yang terang
berkaitan dengan fitrah manusia yang cenderung untuk berbuat jelek.
Disebutkan dalam firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh. Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab : 72-73).
Kebanyakan Ulama berpendapat bahwa amanat yang dimaksudkan adalah kemungkinan pemberian taklif kepada makhluk. Penolakan langit, gunung dalam menerima amanat merupakan penolakan yang wajar karena mereka merasa tidak mampu dan tidak siap untuk menerima amanat tersebut. Hal ini karena hanya akal yang bisa memahami taklif, adan hanya makhluk Allah yang bernama manusia lah yang dianugerahi nikmat akal.
Dalam kenyataannya tidak semua manusia memiliki akal yang sehat dan sempurna. Karenanya, apabila akal manusia tidak sempurna, atau sedang tidak berfungsi karena sedang tidur, pingsan dan lain sebagainya, maka hukum taklifi tidak berlaku bagi manusia.
Akal dan merupakan pasangan yang tidak dapat dipisahkan, kelemahan akal yang tidak mampu mengetahui dengan tepat maslahat yang terkandung dalam suatu perintah atau larangan, maka syara’ dengan petunjuk Al Qur’an dan Hadits dapat memberikan bimbingan dan petunjuk pada akal. Dengan adanya kerjasama yang erat antara akal dan Syara’, maka kita akan berada pada jalan yang lurus , berpandangan lurus, serta terdapat keseimbangan antara tuntutan otak dan hati. Imam Al Ghazali menggambarkan begitu indahnya hubungan antara akal dengan syara, dalam uraian sebagai berikut:
“Adapun akal tidak dapat memberikan petunjuk kecuali dengan bimbingan syara’. Dan Agama tidak akan jelas dipahami melainkan dengan akal yang sehat. Akal lakasan fundamen dan Agama laksana bangunan yang ada di atasnya. Sebuah bangunan yang kokoh tidak akan berdiri tanpa adanya fundamaen yang baik dan sebaliknya.Demikian pula akal laksana mata dan syara’ laksana pancaran cahaya, maka tidak ada gunanya mata jika pancaran cahaya tidak ada, dan sebaliknya”.....
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa akal dan syara’ sangat berhubungan. Karena manusia memiliki akal manusia diberi taklif yang berisi perintah dan larangan yang harus dipatuhi oleh manusia.
Tidak semua perbuatan manusia dinilai ibadah. Dalam Islam ibadah itu ditentukan oleh syara’ dengan didasari niat yang baik. Karenanya perbuatan mukallaf sebagian ada yang di kategorikan adat, adapula yang dikategorikan ibadah. Adapun tujuan mukallaf dalam penerimaan hukum adalah sebagai berikut:
pelaksanaan taklif merupakan daya ikhtisar dan kemauan mukallaf, artinya pelaksanaan taklif harus ditopang dengan keinginan sendiri tanpa adanya unsur paksaan. Setiap amalan harus berdasarkan perintah syara’ sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hukum taklifi. Apabila manusia melakukan taklif bukan atas dasar kemauan sendiri seperi orang gila, tidur, upa dan dipaksa, maka hal tersebut berpautan dengan hukum wad’i sehingga tidak ada unsur pahala dan siksa.
pelaksanaan hukum Islam yang tidak sesuai dengan syara’ berarti penentangan hukum.
pelaksanaan syara;’ harus sesuai dengan yang disyariatkan, jika tidak maka bukan merupakan amalan syara’ dan tidak mendapatkan pahala.
pelaksanaan Syara’ harus sesuai dengan tujuan diciptakannya syara’ jika tidak maka batal. Misalnya tujuan nikah untuk memelihara keturunan dan kedamaian, jika nikah sekedar untuk tahlil (menghalalkan kembali pada bekas suami) maka hal ini tidak dibenarkan.
pelaksanaan syara’ harsu mendatangkan manfaat dan menolak mudhrot baik diri sendiri maupun orang lain.
pelaksanaan syara’ merupakan manifestasi pemenuhan hak Allah.
pelaksanaan Syara’ bagi mikallaf tidak boleh direkayasa.misalnya untuk mengugurkan kewajiban syara’ maka sebelum masuk waktu sholat seseorang minum khomr agar mabuk.
6
Hikmah Dan Tujuan Taklif Pada Manusia
Kata hikmah dan tujuan dalam istilah Ulama Fiqh memiliki arti yang sama, karenanya dalam kitab-kitab Fiqih Karya Ulama-Ulama Salaf maupun kontemporer terdapat berbagai kitab yang judulnya memakai kata “ maqaashid” atau “hikmatu...”. Dua kata ini memiliki arti yang sama dalam operasionalnya. Adapun diantara tujuan dan hikmah manusia diberi taklif adalah:
Agar manusia tidak menuruti hawa nafsu dan selalu menjadi hamba Allah SWT yang baik. Hal ini karena, hawa nafsu memang selalu cenderung pada kejahatan dan menolak kebenaran. Karenanya semua perbuatan yang didasari hawa nafsu maka menjadi batal (tidak sah).
Menjadikan mukallaf sebagai orang yang baik. Walaupun pelaksanaan syara’ kelihatan buruk dan pelaksanaan hawa nafsu kelihatan baik, namun pada hakikatnya semua itu terbalik, sebab syara’ diasumsikan dari kriteria yang mutlak dan objektif, sedangkan nafsu diasumsikan berkriteria nisbi dan subjektif. Dengan taklif Syara’ maka seorang Mukallaf terbiasa melakukan aturan Agama dan mendapat balasan yang positif.
Menjadikan Mukallaf sebagai orang yang subtantif dalam beramal. Semua amalan harus diikuti dengan niat yag ikhlas, karena dengan niat yang ikhlas akan menghasilkan buah amal yang berualitas. Apabila pelaksanaan amalan difungsikan untuk pemenuhan nafsu, maka hasilnya bersifat temporer dan subjektif belaka. Standar amal dinilai dari segi pragmatis bila kehilangan nilai pragmatis maka amalannya berhenti.
Menjadikan Mukallaf sebagai sebagai orang yang menjaga tabi’iyah atau keotentikan Syara’. Dengan memelihara keotentikan dan tabiat syara’ maka menghasilkan ibadah yang sesuai tuntutan dan dapat menghasilkan tujuan syara’ ditaklifkan, seperti perolehan maslahah dan terhindar dari mafsadah.
Dalam bukunya, Ismail Muhammad Syah menyebutkan bahwa Taklif memiliki 2 maksud yang utama, yaitu:
Untuk kebaikan manusia sendiri dalam kehidupan dunia dan akhirat, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat-ayat Alqur’an dan Hadits Nabi.
Contoh ayat yang menjelaskan tentang keharusan melaksanakan hukum Qishas yang tersebut dalam Surat Al Baqarah: 178 dan 179, mengandung hikmah kepastian tegaknya keadilan dan tegaknya ketentraman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum qishas juga berhubungan dengan kebaikan akhirat, karena dalam hukuman Qishas ada pembiasaan diri menjadi insan yang bertakwa kepada Allah SWT. Demikian pula apabila diambil contoh dalam bidang ibadah seperti shalat. Hikmah shalat yang berhubungan langsung dengan kehidupan duniawi adalah bahwa sholat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Dalam suatu hadits Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya semua sholat wajib itu merupakan penghapus dosa (kafarah) antara waktu yang lima itu, selama dijauhi dosa besar”. (HR. Abi Hurairah).
2. untuk menolak dalih karena tidak tahu, sehingga perintah tidak dikerjakan.
7 Allah berfirman:
“Artinya: Para Rasul diutus silih berganti untuk menyampaikan berita yang menggembirakan dan berita yang menakutkan supaya tidak ada alasan lagi bagi manusia kepada Allah (untuk tidak taat) sesuadah Rasul diutus. (Q. S. An Nisa’: 165)
Dalam redaksi yang lain disebutkan, bahwa taklif bertujuan untuk:
memelihara Iman
Pensucian Jiwa (Tazkiyatun Nafs)
pembentukan pribadi yang luhur.
8
Diantara jenis taklif adalah larangan untuk mencuri. Seseorang yang mencuri harus mendapatkan hukuma potong tangan. Sanksi potong tangan ini membuktikan bhwa manusia jika menyaksikan manusia lain dipotong tangannya akan merasa takut dan tidak berani melakukan pencurian.
Jenis taklif yang lain adalah had Zina. Taklif ini bermaksud agar manusia jera dan tidak melakukannya. Perzinahan menyebabkan kaburnya sala-usul ketuerunan, menghilangkan hak waris dan menyebabkan bahaya-bahaya lain.
KESIMPULAN
Taklif adalah: perintah dan larangan Allah yang disampaikan melalui para Rasul. Taklif berupa perintah dan larangan serta sarana-sarana yang mencegah mendekati apa yang bakal merusakkan aturan masyarakat.
Taklif dikategorikan dalam 3 macam, yaitu:
Taklif yang tidak dapat disanggupi sama sekali oleh Mukallaf.
Dapat diketahui manusia dan diketahui kriteria yang diingini musyari’.
Dapat disanggupi mukallaf.
Manusia diberi taklif karena diantara sekian banyak makhluk Allah hanya manusialah yang mamiliki anugerah akal, dan hanya dengan akal lah manusia mampu memahami taklif yang diberikan padanya.
Diantara hikmah manusia diberi taklif adalah:
Agar manusia tidak menuruti hawa nafsu dan selalu menjadi hamba Allah SWT yang baik.
Menjadikan mukallaf sebagai orang yang baik.
Menjadikan Mukallaf sebagai orang yang subtantif dalam beramal.
Menjadikan Mukallaf sebagai sebagai orang yang menjaga tabi’iyah atau keotentikan Syara’.
Untuk kebaikan manusia sendiri dalam kehidupan dunia dan akhirat,
Untuk menolak dalih karena tidak tahu, sehingga perintah tidak dikerjakan.
Memelihara Iman
Pensucian Jiwa (Tazkiyatun Nafs)
Pembentukan pribadi yang luhur.
DAFTAR PUSTAKA
Al Jurjawi, Ali Ahmad. Terjemah Falsafah dan hikmah Hukum Islam. As Syifa’ : Semarang. 1992.
Muhammad Dahlan, Ihsan. Sirajud Thalibin. Penerbit Al-Haramain: Surabaya.
Muhammad Syah, Ismail Dkk. Filsafat Hukum Islam. Bumi Aksara: Jakarta. 1991.
S. Praja, Juhaya. Filsafat hukum Islam. Pusat Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam Bandung. 1995.
Usman, Muchlis. Hikmatut Tasyri’. Penerbit LBB YANS’: Malang. 1993.
1 Ihsan Muhammad Dahlan, Sirajud Thalibin. Penerbit Al Haramain: Surabaya. Hlm 2.
2 Ali Ahmad Al Jurjawi, Terjemah Falsafah Dan Hikmah Hukum Islam. As-Syifa’: Semarang 1992. Hlm. 66.
3 Ismail Muhammad Syah Dkk, Filsafat Hukum Islam. Bumi Aksara: Jakarta. 1991. Hlm. 144.
4 Muchlis Utsman, Hikmatut Tasyri’ . Penerbit LBB YANS’ : Malang. 1993. Hlm. 54
5 Ali Ahmad Al Jurjawi, Terjemah Falsafah Dan Hikmah Hukum Islam. As-Syifa’: Semarang 1992. Hlm. 67.
6 Muchlis Utsman, Hikmatut Tasyri’ . Penerbit LBB YANS’ : Malang. 1993. Hlm. 57.
7 Ismail Muhammad Syah Dkk, Filsafat Hukum Islam. Bumi Aksara: Jakarta. 1991. Hlm. 144.
8 Juhaya S. Praja. Filsafat Hukum Islam. Pusat Penerbitan LPPM Universitas Islam Bandung. 1995. Hlm. 71.