Sabtu, 16 Agustus 2008

PAHAM WAHABI

PAHAM WAHABI

A. LATAR BELAKANG

Munculnya Aliran-aliran Teologi dalam Ilmu Kalam merupakan wujud keberagaman yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Hal ini lah seperti yang pernah disebut kan oleh Nabi dalam Hadits beliau, bahwa: “ perbedaan pada umatku adalah rahmat”. Perbedaan yang ada disetiap aliran teologi pada dasarnya tetap menuju pada satu tujuan, yaitu meng-Esakan Allah sebagi Tuhan yang maha Rahman dan Rahim. Setiap aliran-aliran teologi Islam memiliki kensep tersendiri tentang Aqidah dan segala hal yang berhubungan dengan sah dan batalnya Aqidah seorang muslim. Golongan Wahabi walaupun hanya bisa disebut sebagai sebuah faham dalam teologi Islam, akan tetapi kemunculannya pernah sangat menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam karena ajaran-ajaran yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahab ini di sisi tertentu adalah sesat, serta dapat menghancurkan umat Islam sendiri.
Dalam malakah ini akan dibahas tentang pengertian faham Wahabi, tokoh pendirinya, Aqidah-aqidah, dan sejarah penyebarannya.

B. Biografi Pendiri Paham Wahabi

Faham Wahabi dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Nama lengkap beliau adalah Syeikh al-Islam Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Beliau berasal dari kota Unaiyah, Najed. Yaitu sebuah daerah yang terletak persis di jantung jazirah Arab. Pada saat itu Najed berada di dalam kekuasaan seorang Raja yang bernama Ibnu Su’ud. Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1111 H, meninggal pada tahun 1206 H. Menurut pendapat lain beliau dilahirkan pada tahun 1115 H/1701 M dan meninggal pada tahun 1793 M. Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang sangat kental dengan ajaran Islam. Ayah beliau yang bernama Abdul Wahab, adalah seorang yang menjabat sebagai ketua Agama di tempat tinggalnya. Sedangkan kakeknya pada saat itu menjabat sebagai seorang Qodhi (Mufti besar). Seorang Mufti adalah Ulama yang menjadi tempat tumpuan atau rujukan bagi masyarakat apabila ada masalah-masalah yang berhubungan dengan Agama Islam yang mereka rasa sulit untuk diselesaikan. Karena tumbuh di dalam didikan keluarga yang sangat faham masalah Agama, maka Muhammad kecil tumbuh seorang anak yang mendapatkan pendidikan Agama yang baik. Beliau mendapatkan bimbingan sendiri dari ayah dan ibunya. Dengan izin Allah dan karena tingkat kecerdasannya yang tinggi, maka pada usia 10 tahun beliau telah dapat menghafalkan Al Qur’an 30 juz dengan sempurna.
Setelah beranjak remaja beliau menuntut ilmu Agama di Madinah dengan cara pulang balik dari Makkah. Beliau berguru pada Ulama-Ulama ternama pada zaman itu, seperti: Syeikh Muhammad bin Sulaiman, Al Kurdi As-Syafi’I dan Syekh Muhammad Hayat As-Sanadi al-Hanafi. Dalam ilmu Tauhid beliau belajar dari Ibnu Qayyim al- jauziyyah, yaitu murid dari Ibnu Taimiyyah yang mengikuti ajaran imam Ahmad bin Hambal. Imam Ahmad bin Hambal adalah pendiri salah satu aliran teologi yang disebut dengan aliran Salafiyah. Setelah Muhammad bin Abdul Wahab berguru pada Ulama-Ulama yang beraliran Salafi ini, beliau kemudian pulang dan menyebarkan sebuah aliran/faham yang disebutnya sebagai gerakan atau aliran pembaharuan dalam Islam. Pertanyaan yang mendasar apabila kita menyebutkan nama Wahabi adalah: apakah Wahabi adalah termasuk aliran Teologi Islam ataukah hanya bisa disebut sebagai sebuah faham atau gerakan?. Apabila kita melihat pada asal-usul berdirinya Wahabi dan guru-guru yang dianut oleh Muhammad bin Abdul Wahab, maka Wahabi belumlah bisa disebut sebuah aliran Teologi seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah atau yang lainnya. Hal itu karena pokok-pokok ajaran yang dipakai oleh kaum Wahabi adalah ajaran-ajaran Tauhid yang diperoleh Muhammad bin Abdul Wahab dari Para gurunya yang menganut Madzhab Hambali. Madzhab Hambali adalah Madzhab yang terkenal cukup ketat dalam berpegang pada Nash Al Qur’an dan Hadits, sehingga dalam membahas masalah Agama ia jarang sekali menggunakan unsur logika dalam membahas suatu Nash.

C. Sejarah Penyebaran Faham Wahabi

Muhammad bin Abdul Wahab pertama kali menyebarkan fahamnya di wilayah timur, yaitu di daerah kelahirannya sendiri (Najed) pada tahun 1143 H. proses penyebaran faham Wahabi menjadi sangat lancar karena pandainya Muhammad bin Abdul wahab dalam mengambil hati raja yang berkuasa di Najed pada saat itu. Raja yang berkuasa pada saat itu adalah raja Muhammad bin Su’ud. Dengan dukungan sepenuhnya dari raja Su’ud, penyebaran dan pengembangan faham Wahabi di Najed menjadi sangat lancar. Sehingga pada tahun 1150 H penyebaran faham Wahabi telah merata di seluruh pelosok daerah Najed. Pengikut-pengikut faham Wahabi pada saat itu mayoritas berasal dari suku/kabilah-kabilah Arab yang tinggal di daerah pegunungan. Karena jarang tersentuh oleh ajaran Agama, maka tingkat pengetahuan mereka tentang masalah Agama tergolong sangat rendah. Tidak heran, mereka dengan suka cita mengikuti faham wahabi yang dibawa oleh putra daerah mereka sendiri, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab. Dengan penuh kerelaan mereka mau mengikuti faham Wahabi karena mereka percaya terhadap apa yang dikatakan Muhammad bin Abdul Wahab bahwa: misi yang dibawanya adalah penyebaran dan pemurnian Tauhid yang mulia. Salah satu statement yang diucapkan oleh beliau adalah:“aku mengajak kamu semua untuk memasuki Agama, seluruh apa yang ada adalah berada di bawah tujuh perangkap kemusyrikan secara mutlak, maka barangsiapa yang membunuh seorang yang musyrik maka baginya pahala Syurga”. Masyarakat pegunungan itu sangat loyal terhadap Muhammad bin Abdul Wahab, sehingga mereka tidak berani menentang apa yang diperintahkan dan tidak melanggar apa yang ia larang. Perluasan faham Wahabi tidak hanya terbatas di Najed saja, tetapi juga sampai ke Makkah. Pada saat pemerintahan Negara Makkah diperintah oleh raja Mas’ud bin Said in Sa’ad bin Zaid. Muhammad bin Abdul Wahab mengirimkan 30 orang ulama dari golongan mereka untuk meminta izin menunaikan ibadah haji kepada raja Mas’ud. Misi yang sebenarnya mereka bawa adalah menyebarkan faham Wahabi kepada penduduk Makkah serta kepada para jamaah Haji yang datang berkunjung ke Makkah.
Orang-orang Makkah dan Madinah pada saat itu telah mendengar keberadan faham Wahabi yang ada di Najed, seta kerusakan yang mereka lakukan pada Aqidah orang-orang pegunungan. Akan tetapi mereka belum mengetahuinya sendiri. Karena itu, ketika para utusan dari kaum Wahabi datang, raja Mas’ud memerintahkan Ulama-Ulama utusannya untuk berdiskusi dengan mereka. Hasil dari diskusi tesebut ternyata sangat memojokkan kaum Wahabi, sehingga mereka (kaum Wahabi) menuai kekalahan dan ejekan dari Ulama-Ulama Makkah dan Madinah. Para Ulama Makkah dan Madinah itu berpendapat bahwa Aqidah yang dibawa oleh kaum Wahabi adalah aqidah yang banyak mengandung kekafiran. Karena itu, setelah para Ulama Makkah menjelaskan alasan (hujjah) yang jelas, raja Mas’ud menginstruksikan kepada hakim pengadilan Syariah untuk membukukan (mengkondifikasikan) hujjah tentang kekafiran mereka. Hal itu dimaksudkan agar umat Islam tahu dan mengerti bahwa ajaran Tauhid yang dibawa oleh faham Wahabi adalah ajaran Tauhid yang menyesatkan umat Islam. Setelah kejadian tersebut, para utusan kaum Wahabi itu dijatuhi hukuman yang berat. Akan tetapi sebagian dari mereka ada yang berhasil lolos dan kembali kepada Muhammad bin Abdul Wahab.
Tidak puas dengan kekalahan yang telah mereka dapatkan, pada tahun berikutnya Muhammad bin Abdul Wahab kembali mengirimkan utusan ke Makkah untuk menyebarkan ajarannya. Tepatnya pada pemerintahan Raja Musa’id bin Sa’id (beliau adalah pengganti dari raja Mas’ud setelah beliau wafat pada tahun 1165 H). Akan tetapi kedatangan utusan tersebut selalu saja ditolak oleh raja yang sedang berkuasa pada saat itu. Perjuangan mereka tidak berhenti sampai disitu, setiap tahun Muhammad bin Abdul Wahab selalu mengirimkan utusannya, yaitu mulai dari pemerintahan Raja Ahmad bin Musa’id (1184-1186), Raja Surur bin Musa’id (1186-1206), Raja Gholib bin Musa’id (1205-1220 H). pada masa yang tersebut di atas, masuknya faham Wahabi ke negara Makkah masih bisa ditahan seiring dengan gencarnya Raja yang memerintah pada saat itu untuk mencegahnya. Akan tetapi setelah tahun 1205, kekuatan pemerintah untuk menolak faham Wahabi sangat lemah. Hal itu karena propaganda dan usaha yang dilancarkan kaum Wahabi berlangsung terus-menerus tanpa ada kata menyerah. Sehingga pada tahun 1220 mereka dapat memasuki Jazirah Arab dengan sempurna. Perluasan wilayah dakwah mereka sudah meliputi seluruh daerah yang ada di Jazirah Arab, seperti: Oman Bahrain, Baghdad dan Bashrah.
Cara yang mereka lakukan ini merupakan cara yang efektif, yaitu dengan menaklukkan daerah yang ada di sekitar Makkah seperti Thaif dan kabilah-kabilah yang ada di sekitarnya sebelum mereka dapat menguasai Makkah. Usaha mereka untuk memasuki daerah yang ada di Jazirah Arab ini mereka lakukan dengan cara penyerangan terhadap yang mereka maksudkan. Sejarah telah mencatat penyerangan keji yang telah mereka lakukan ketika mereka hendak menaklukkan daerah Thaif pada bulan DzulQa’dah tahun 1217. Mereka melakukan pertumpahan darah secara besar-besaran dengan membunuh orang-orang dewasa, anak-anak yang tidak berdosa, rakyat kecil dan para pemimpin. Bahkan disebutkam mereka dengan tega melakukan penyembelihan terhadap anak-anak kecil di atas dada ibunya, merampas harta dan memaki-maki wanita yang sama sekali tidak bersalah apa-apa. Selain itu masih banyak lagi kekejaman yang mereka lakukan sebagai usaha mereka untuk menyebarkan dan memperluas faham yang mereka anut.
Pada bulam Muharram tahun 1218 H, mereka mulai menuju Makkah dan berniat untuk mengadakan penyerangan. Pada saat itu, kondisi pemerintahan sudah sangat tidak memungkinkan untuk mengadakan penolakan terhadap kedatangan kaum Wahabi tersebut. Akhirnya dengan sangat terpaksa Raja Ghalib harus meninggalkan Makkah dan mengungsi serta berdiam di Jiddah. Sementara itu penduduk Makkah yang masih tinggal, bersiap-siap menyambut kedatangan pasukan kaum Wahabi dengan serangan balik tidak jauh dari pintu gerbang kota Makkah. Akan tetapi mereka membuat tipu daya dengan mengajukan perjanjian damai dengan penduduk Makkah, sehingga mereka akhirnya dapat memasuki kota Makkah dengan aman. Setelah itu mereka masuk kekota Jiddah dan hendak melakukan pembunuhan terhadap raja Ghalib, tapi usaha itu tidak berhasil karena raja mengadakan perlawanan dengan cara memerangi mereka sehingga mereka tidak dapat memasuki kota Jeddah. Setelah itu mereka langsung menarik mundur pasukan mereka dan pulang ke Najed pada bulan Shafar tahun 1218 H.
Pada bulan Rabi’ul awal di tahun yang sama, raja Ghalib kembali ke Makkah beserta bala tentaranya dan kembali memerintah di Makkah dengan aman. Akan tetapi, tidak lama kemudian timbul peperangan lagi antara kaum Wahabi dengan Raja Ghalib sampai tahun 1220 H, yang diakhiri dengan kemenangan di pihak kaum Wahabi. Cara yang mereka pergunakan untuk menguasai kota Makkah pada saat itu adalah dengan mengepung penduduk, sehingga penduduk tidak dapat melakukan aktifitas kesehariannya karena takut akan kekejaman yang dilakukan kaum Wahabi kepada mereka. Pada saat itulah musibah kelaparan melanda penduduk Makkah. Melihat kondisi rakyatnya yang sangat menderita, raja Ghalib memutuskan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum Wahabi. Setelah itu, maka kaum Wahabi kembali dapat memasuki Makkah dan dapat melancarkan dakwahnya pada penduduk Makkah dan para jama’ah Haji yang datang mengunjungi Baitullah.
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud dan Gubernurnya yang berada di Mesir, perlawanan terhadap kaum Wahabi mulai dilakukan kembali. Pada saat itu Sultan Mahmud menyiapkan bala tentaranya untuk menyerang kaum Wahabi. Tujuan dari penyerangan tersebut adalah agar kaum Wahabi dapat diusir dari Makkah dan Madinah, kemudian memerangi mereka di daerah mereka sendiri. Penyerangan Sultan Mahmud dan bala tentaranya terhadap kaum Wahabi di daerah Najed itu dipimpin sendiri oleh Sultan Mahmud. Akhirnya kaum Wahabi dapat dipukul mundur dari Makkah pada tahun 1227 H.
Muhammad bin Abdul Wahab melancarkan dakwah nya kepada umat Islam yang pengetahuannya tentang Agama sangat minim, sehingga mereka dapat dengan mudah disesatkan dan diperdaya. Dalam menyebarkan fahamnya kaum Wahabi selau saja mengaku bahawa mereka adalah golongan yang senantiasa berusaha memperjuangkan kemurnian Tauhid dan menegakkan Syariat Agama Islam. Muhammad bin Abdul Wahab selalu saja memerintahkan kepada para pengikutnya untuk tidak meninggalkan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, seperti sholat, zakat, haji dan rukun Islam yang lain. Serta selalu mengingatkan para pengikutnya untuk selalu berusah meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Apabila dilihat dari sudut pandang cara mereka taat dan patuh kepada Allah, tentu saja apa yang diajarkan Muhammad bin Abdul Wahab itu tidak salah. Akan tetapi kesalahan fatal yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab adalah sikapnya selalu dengan mudah menganggap golongan orang-orang Islam lain yang tidak memihak fahamnya adalah sesat dan kafir. Hal itu terbukti dengan ketetapan yang dinyatakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab bahwa darah umat Islam itu halal untuk dialirkan dan hartanya boleh untuk dirampas. Ia selalu mengkafirkam umat Islam dengan mempergunakan ayat-ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan kaum musyrikin kemudian hal itu ia gunakan untuk mengkafirkan orang-orang yang mengesakan Allah SWT. Sikap yang dilakukan oleh kaum Wahabi ini sangat persis dengan yang dilakukan golongan Khowarij. Imam Bukhori pernah meriwayatkan sebuah Hadits dari Abdullah Ibnu Umar yang menerangkan sifat-sifat dari Kaum Khowarij, yang artinya:
“sesungguhnya mereka menerapkan ayat-ayat yang diturunkan berkenaan dengan orang kafir, kepada orang-orang mukmin”.

Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar Nabi pernah bersabda, yang artinya:
“sesuatu yang paling aku takut kan atas umat ku adalah seseorang yang manta’wili Al Qur’an bukan pada tempatnya”.
Hadits di atas sangat sesuai bila diidentikkan dengan apa yang telah dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab dan para pengikutnya. Jadi walaupun pada lahiriahnya ia sangat mendukung Madzhab imam Ahmad bin Hambal, akan tetapi hal itu hanyalah sebagai kedok untuk mengelabui umat.

Ritual yang menjadi ciri kaumWahabi apabila menerima anggota baru yang ingin bergabung dengan mereka adalah:menyuruh orang itu membaca dua kalimat Syahadat terlebih dahulu, kemudian mereka berkata kepadanya : “aku bersaksi atas dirimu, bahwa engkau adalah orang kafir dan aku bersaksi atas kedua orang tuamu bahwa mereka telah meninggal dalam keadaan kafir, serta aku bersaksi bahawa si fulan dan si fulan adalah orang kafir (mereka kemudian menyebutkan nama sifulan itu dari nama Ulama terdahulu)”. Apabila seseorang mau memenuhi persyaratan yang seperti itu, maka barulah ia diakui sebagai anggota baru yang berhak mengikuti jama’ahnya. Apabila ia tidak mau memenuhi persyaratan tersebut, maka ia akan dibunuh.
Muhammad bin Abdul Wahab sangat keras dan Ekstrim dalam menyikapi orang Islam yang tidak termasuk dari golongannya. Sampai-sampai Muhammad bin Abdul Wahab pernah bahwa apabila ada anggota baru yang sudah pernah melakukan ibadah Hajji sebelum ia masuk kedalam fahamnya, maka hukum ibadah haji yang dilakukan oleh orang tersebut adalah tidak sah dan harus diulang. Hal itu karena mereka mengklaim orang yang tidak masuk dalam faham wahabi adalah kafir, dan ibadah yang dilakukannya tidak sah menurut mereka. Orang-orang Wahabi yang berada di luar negeri mereka sebut sebagai kaum Muhajirin, dan yang ada di dalam negeri mereka sebut sebagai kaum Anshar. Dari sikap Muhammad bin Abdul Wahab tersebut, tampaklah bahwa ia akan mendakwahkan dirinya sebagai seorang Nabi, hanya ia tidak kuasa untuk mengatakannya. Hal itu karena jauh sebelum dia menyebarkan misinya, ia gemar sekali menyimak berita orang-orang yang pernah mengaku sebagai Nabi Seperti: Musailamah al-Kadzdzab, Sujjah, Aswad al- Unsadan dan Thulaihah al-Asady, sehingga seolah-olah dia telah menyimpan dalam hatinya bahwa ia adalah seorang Nabi. Terbukti ia pernah mengucapkan: “aku datang kepadamu dengan membawa Agama baru”. Dengan demikian jelaslah bahwa keinginan dirinya untuk dapat disebut sebagai Nabi terus ia sembunyikan sampai ia dapat menyebarkan faham yang di bawanya. Dari sikap dan perkataannya ia telah menikam ajaran para Madzhab Umat serta perkataan para Ulama dan tidak menerima Agama Nabi Muhammad. Kalaupun ia menerima adanya Al Qur’an, akan tetapi selalu ia tafsirkan sendiri dengan seenaknya. Dia hanya menerima Al Qur’an dari segi lahiriyahnya saja, agar orang tidak mengetahui bahwa misi yang dibawanya adalah misi yang sesat dan jauh dari ketentuan Syariat. Karena itu, walaupun Muhammad bin Abdul Wahab mengaku bahwa ia mengambil sumber hukum Islam dari Imam Ahmad bin Hambal, akan tetapi itu sebenarnya tidak benar. Bahkan Ulama-Ulama dari golongan Hanabilah pun pernah menentang apa yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan mengarang buku-buku yang isinya adalah menolak pengakuan Muhammad bin Abdul Wahab. Hal itu antara lain dilakukan oleh ayah dan saudara kandungnya sendiri yaitu: Abdul Wahab dan Syeikh Sulaiman.

C. SIKAP PARA ULAMA TERHADAP PAHAM WAHABI

Para ulama dari keempat madzhab sangat menolak adanya faham Wahabi. Penolakan itu mereka wujudkan dengan menyusun buku-buku yang menjelaskan tentang kemurnian Tauhid, dan mengungkap kesalahan aqidah yang ada dalam faham Wahabi. Hal itu mereka lakukan karena mereka mengamalkan sabda Rasul SAW:
اذا ظهرت اليدع زسكت العالم فعليه لعنة الله والملائكة والناس اجمعين
Artinya : “apabila perkara-perkara bid’ah telah lahir, dan para alim ulama diam saja, maka laknat Allah dan para malaikat-Nya serta seluruh manusia akan ditimpakan kepadanya”.

Dan sabda Rasulullah yang berbunyi:
o ماظهلر أهل بدعة إلا اظهر الله فيهم حجته على لسان من شاء من خلعه
Artinya: “Tidaklah lahir ahli bid’ah, kecuali Allah melahirkan pula hujjah-Nya pada mereka melalui lisan orang-orang yang dikehendaki dari mahkluk-Nya”.

Karena itu para ulama dari seluruh madzhab baik timur ataupun barat telah berusaha menolak mereka bahkan ada sebagian ulama yang merasa berkewajiban untuk menolaknya dengan menggunakan pendapat-pendapat Imam Ahmad ibnu Hambal. Diantara ulama yang menyusun buku yang menolak ajaran faham Wahabi adalah Syekh Muhammad bin Abdur Rahman bin Afaaliq. Ia menyusun buku besar yang berjudul “ Tahakkumul Muwallidiin bi Man idda’a tajdidad Diin” yang artinya ejekan para pengikut penyeru pembaharu Agama. Di dalam kitab tersebut ia menolak setiap ajaran-ajaran Wahabi dengan sengit. Selain itu ia juga menjelaskan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab ternyata tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan olehnya.

D. HADITS-HADITS YANG MEMBERITAKAN AKAN DATANGNYA FAHAM WAHABI

Sikap Muhammad bin Abdul Wahab yang selalu menghukumi kafir pada setiap orang Islam yang tidak masuk dalam golongannya adalah sama seperti sikap yang dilakukan oleh golongan Khawarij. Adapun tentang munculnya golongan Khawarij ini, Nabi Muhammad SAW telah memberitakan akan kemunculannya jauh sebelum munculnya aliran-aliran teologi yang ada dalam ilmu kalam. Itulah salah satu mukjizat yang menguatkan kerasulan Nabi, yaitu dapat mengetahui hal-hal yang gaib. Telah disebutkan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Musim, antara lain:
الفتة من ههنا الفتة من ههنا واشار اليه الى المش
Artinya: “fitnah itu datangnya dari sini, fitnah itu datangnya dari sini, sambil memberikan isyarat ke arah timur”.

يخرج ناس من قبل المشرق ويقرءون القرأن لايجاوز تراقيهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية لايعودون فيه حتى يعود السهم الى نوقه سيماهم التحليق
Artinya: “Akan muncul segolongan manusia dari arah timur, mereka membaca Al-Qur’an tapi tidak bisa membersihkannya, mereka keluar dari Agamanya sperti anak panah yang keluar dari busurnya. Mereka tidak akan kembali ke Agama hingga anak panah itu kembali ketempatnya (busurnya), tanda-tanda merelka adalah bercukur kepala”.
Dalam Hadits-hadits di atas dijelaskan, bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur kepala, hal ini jelas ditujukan pada kaum kharijin yang datang dari arah timur, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab dan para pengikutnya. Ciri khas ini tidaklah dijumpai pada aliran-aliran sesat lainnya.
Selain Hadits-Hadits yang disebutkan di atas ada juga yang menjelaskan dan mengisyaratkan akan adanya keguncangan dan tanduk syaitan yang muncul dari arah timur. Maka sebagian Ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua tanduk syaitan adalah Musailamah Al-Kadzdzab dab Muhammad bin Abdul Wahab. Hadits tersebut adalah:
سيظهر من نجد شيطان تززل جزيرة العرب من فتنه
Artinya: “akan lahir Syaitan dari Naged,jazirah Arab akan goncang karena fitnahnya”.




Tidak ada komentar: