Sabtu, 16 Agustus 2008

APLIKASI PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS SOSIAL SEBAGAI UPAYA MENGEMBANGKAN PEMAHAMAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN PAI DI SMA

A. Merasakan Adanya Masalah

Pembelajaran PAI di sekolah idealnya dapat membentuk siswa yang memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran Agama Islam, serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan. Fenomena yang terjadi sekarang, pelajaran PAI dianggap sebagai pelajaran doktriner yang sangat membosankan dan tidak menarik dikalangan siswa SMA. Hal ini menyebabkan siswa kurang termotivasi untuk belajar, dan akhirnya sulit untuk memahami secara mendalam tentang apa yang telah ia pelajari. Keadaan ini diperkuat dengan adanya metode dan pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran PAI yang terkesan monoton dan tidak bervariasi.

B. Eksplorasi Dan Analisis Masalah

pendidikan Agama Islam merupakan media yang berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai luhur dalam diri manusia. Karena itulah pendidikan Agama Islam menjadi sangat urgen dalam pembentukan generasi Islam yang mampu mamahami subtansi nilai- nilai keislaman dan memiliki akhlak yang mulia.
Dalam pembelajaran PAI di sekolah, berlangsung sebuah proses sinergis antara Guru, siswa dan lingkungan pembelajaran dalam upaya mencapai perubahan tingkah laku positif yang sesuai dengan ajaran Islam. Karena itulah proses pembelajaran PAI harus dibentuk seefektif mungkin, dengan mengaplikasikan berbagai pendekatan dan metode yang relevan dengan konteks pengembangan pemahaman siswa.
Fenomena yang ada sekarang, guru PAI kurang bisa merencanakan metode dan pendekatan yang efektif dalam proses pembelajaran. Sering kali proses pembelajaran PAI diarahkan pada pembelajaran tradisional, yaitu murid dibiasakan berfikir dan mengkonstruk pengetahuannya secara individual. Dalam hal ini Guru hanya menjadi fasilitator yang selalu memberikan motivasi dan saran kepada murid untuk terus mengembangkan dan memperbaiki pemahamannya. Cara pembelajaran seperti ini akan cenderung membentuk murid yang individual dan tidak bisa bekerja sama dengan orang lain. Selain itu pembelajaran PAI akan menjadi tidak menarik dan tidak bervariasi.
Apabila seorang guru bisa lebih kreatif dalam merencanakan pembelajaran, maka sebenarnya pembelajaran PAI dapat dibuat lebih efektif dengan mengembangkan kolaborasi siswa untuk saling berbagi pengalaman, serta mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki.

C. Penyajian Masalah

Dalam proses pembelajaran, siswa secara terus-menerus mengkonstruksi, mengorganisasi, dan mereorganisasi pengetahuan yang telah ia peroleh sebelumnya. Karena itulah diperlukan motivasi dan asumsi bahwa pelajaran yang sedang ia pelajari menarik dan berguna bagi kehidupannya kelak. Motivasi yang kuat akan mempengaruhi minat belajar siswa dan mempercepat pemahaman siswa terhadap suatu pelajaran. Motivasi siswa antara lain dapat dipengaruhi oleh pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran. Pendekatan pembelajaran PAI yang dikembangkan di SMA cenderung bersifat tradisional dan hanya menguatamakan pembinaan pada aspek kognitif siswa, karena itulah siswa sulit untuk dapat memahami dan menanamkan nilai-nilai ajaran Agama Islam secara mendalam.
Contohnya dalam pembelajaran PAI aspek Al-Qur’an Hadits, dalam indikatornya anak banyak diarahkan pada tujuan pencapaian kompetensi tertentu seperti: dapat membaca dan menulis dengan baik dan benar ayat-ayat tertentu,dapat menterjemahkan dengan benar, serta dapat memahami pokok kandungan ayat dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran tradisional, siswa hanya dimotivasi untuk menguasai beberapa indikator tersebut dengan penggunaan pendekatan dan metode ceramah atau penugasan-penugasan yang mengarahkan siswa hanya kompeten pada aspek kognitif saja, tanpa mempertimbangkan bagaimana pengembangan pemahaman siswa terhadap pelajaran tersebut, serta bagaimana nantinya ia dapat memiliki rasa ingin menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Demikian pula pada PAI aspek sejarah Islam dan Aqidah Akhlak, siswa jarang sekali dikondisikan pada pembelajaran yang mengarah pada kehidupan riil nya, sehingga pengetahuan dan pemahaman siswa hanya berkutat pada pemahaman konsep dan pencapaian nilai yang baik. Padahal sesungguhnya yang lebih urgen dari itu, bagaimana siswa dapat mengembangkan pemahamannya dan akhirnya dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan.
Dalam hal ini Vigotsky menawarkan sebuah solusi pendekatan kontruktivis sosial yang diharapkan dapat mengarahkan siswa pada proses pengembangan kognisi secara bersama-sama dengan mengkondisikan siswa untuk dapat berkolaborasi dan bekerjasama dengan siswa lainnya. Bagaimanakah teori konstruksi sosial Vigotsky turut berperan dalam mengembangkan pemahaman siswa pada pembelajaran PAI? .

D. Pemecahan Masalah

Fenomena pembelajaran PAI yang dianggap membosankan dan tidak menyenangkan oleh siswa SMA, menyebabkan pelajaran PAI kurang begitu diminati.Hal ini terbukti dengan adanya sikap apriori siswa SMA pada pelajaran PAI. Asumsi ini sangat mempengaruhi minat dan motivasi siswa dalam mempelajari, mengakaji dan mengembangkan pemahaman tentang PAI. Dalam hal ini pendekatan dan metode yang digunakan oleh guru memegang peranan yang sangat urgen.
Pandekatan konstruktivis sosial yang diusung oleh Vigotsky memberikan solusi konkrit yang dapat diterapkan dalam pembelajaran PAI. Menurut Vigotsky guru dan teman sebaya dapat menjadi kontributor dalam pembelajaran siswa.kontribusi yang diberikan oleh guru dan teman sebaya tersebut dapat diwujudkan dengan menggunakan 4 metode, yaitu: 1). Scaffolding, 2). pelatihan kognitif, 3). tutoring dan 4). pembelajaran kooperatif.
Pada metode scaffolding pembelajaran menggunakan tehknik mengubah level dukungan sepanjang jalannya sesi pembelajaran. Orang yang lebih ahli (guru dan teman sesama siswa yang lebih ahli) memberikan bimbingan, serta menyesuaikan jumlah bimbingan dengan kinerja murid.
Pada metode pelatihan kognitif pembelajaran diarahkan pada keaktifan siswa, fungsi pakar (orang yang ahli) dalam pembelajaran ini adalah mendukung dan memperluas pemahaman pemula dengan menggunakan keahlian kultur. Aspek kunci dari pelatihan kognitif adalah evaluasi ahli atas kapan seorang siswa siap untuk melanjutkan materi pelajaran.
Pada metode tutoring, pembelajaran terjadi antara pakar dan pemula. Tutor bisa diambil dari pakar (ahli), sesama siswa yang memiliki kemampuan lebih dari teman-temannya atau setiap individu.
Pada metode pembelajaran kooperatif, siswa bekerja sama dalam kelompok kecil untuk saling membantu dalam belajar. Pembelajaran kooperatif memiliki beberapa pendekatan antara lain: 1). STAD, 2). Jigsaw, 3). Belajar bersama, 4). Investigasi kelompok, 5). Penulisan kooperatif.
Empat metode tersebut dapat digunakan dalam pembelajaran PAI. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan metode pembelajaran PAI yang akan digunakan antara lain:
1). Tujuan yang akan dicapai; 2). Peserta didik; 3). Bahan atau materi yang diajarkan; 4). Fasilitas; 5). Guru; 6). Situasi; 7). Partisipasi; 8). Kebaikan dan kelemahan metode tertentu.
Metode scaffolding dan pelatihan kognitif sesuai digunakan dalam pembelajaran PAI aspek Aqidah akhlak dan fikih, dalam hal ini guru menjadi pemantau proses pembelajaran siswa dikelas. Guru dapat menugaskan siswa untuk mendemonstrasikan, mempraktekkan, bermain peran tentang materi tertentu, kemudian guru memberikan tambahan keterangan atau justifikasi permasalahan dari materi yang sedang di bahas.
Metode Tutoring dapat diaplikasikan pada materi PAI aspek Al-Qur’an hadits. Contohnya apabila guru sedang membahas tentang proses penciptaan manusia dalam AlQur’an, maka guru bisa mendatangkan seorang yang ahli dalam bidang kedokteran untuk membahas proses penciptaan manusia dari aspek kedokteran. Guru juga bisa mengajak siswa untuk menyaksikan proses kejadian manusia melalui CD sains yang telah banyak beredar. Dengan demikian pembelajaran PAI dapat diintegrasikan dengan pelajaran lain yang relevan dan dapat mengembangkan pemahaman siswa.
Dalam proses pembelajaran, siswa perlu dilatih untuk bekerja sama dengan rekan-rekan sebayanya. Ada kegiatan belajar tertentu yang akan lebih berhasil jika dikerjakan secara bersama-sama, misalnya dalam kerja kelompok, daripada jika dikerjakan sendirian oleh masing-masing siswa. Latihan kerja sama sangatlah penting dalam proses pembentukan kepribadian anak.
Pembelajaran kooperatif mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi (Ibrahim, 2000,12). Keterampilan ini amatlah penting untuk dimiliki siswa dalam rangka memahami konsep-konsep yang sulit, berpikir kritis dan kemampuan membantu teman. Metode pembelajaran kooperatif dapat diaplikasikan pada materi semua aspek PAI yang membutuhkan adanya kerjasama dan kolaborasi antar siswa.
Guru dapat memodifikasi beberapa metode untuk satu materi pelajaran apabila dirasa perlu. Dengan adanya metode yang bervariasi siswa diharapkan lebih tertarik dan berminat untuk mengkaji dan mengembangkan pemahaman nya tentang Agama Islam untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

E. Refleksi

Dari pemecahan masalah diatas dapat diketahui bahwa pembelajaran PAI dapat didesain dengan menarik tanpa mengurangi subtansinya. Penggunaan berbagai macam metode yang diilhami dari pendekatan konstruktivis bisa menjadi alternatif yang lebih efektif dalam pembelajaran.
Para ahli psikologi umumnya sependapat bahwa siswa-siswa mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkret dan dikerjakan secara bersama-sama (Semiawan, 1992,14). Contoh-contoh yang wajar sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi dengan mempraktekkan sendiri upaya penemuan konsep melalui perlakuan terhadap kenyataan fisik, melalui penanganan benda-benda yang benar-benar nyata. Pada prinsipnya anak mempunyai motivasi dari dalam untuk belajar karena didorong oleh rasa ingin tahu.
Teori konstruktivis sosial vigotsky memiliki perbedaan dengan teori kunstruktivis kofnitif yang diusung oleh piaget. Dalam hal ini terjadi pergeseran konpestual bahwa kognitif tidak hanya dikembangkan oleh individual, akan tetapi juga dikembangkan dan dibangun secara mutual / bersama-sama (Bearison&Dorval: 2002).keterlibatan orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk memperbaiki pemahaman mereka saat pemahaman mereka bertemu dengan pemahaman orang lain, serta saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama.
Dengan mengaplikasikan beberapa metode dalam pendekatan konstruktivis, diharapkan pembelajaran PAI disekolah menjadi lebih efektif , kreatif dan menyenangkan bagi siswa. Sehingga siswa dapat mengembangkan pemahaman tidak hanya dalam tataran konsep, tetapi juga dalam konteks riil. Dengan demikian diharapkan siswa dapat mengaplikasikan pemahamannya tentang Agama Islam dalam wujud perubahan pola pikir dan tingkah laku ke arah yang lebih positif.

Referensi:
· http// www.google.com-blog Diposting Oleh Anwar Holil. Sabtu:5 Juli 2008.
· Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam. Penerbit Rosda Karya, 2002.
· Santrock, Jhon . Educational Phsycology : The Mc Grow-Hill Companies: 2004.
· Zuhairini&Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Penerbit UM Press: malang. 2004.




SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI

A. LATAR BELAKANG

Psikologi Agama merupakan ilmu yang mempelajari tentang sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala kejiwaan yang melatarbelakanginya. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa psikologi Agama merupakan cabang dari ilmu psikologi. Sebelum menjadi ilmu yang otonom, psikologi Agama memiliki latar belakang sejarah perkembangan yang cukup panjang. Karena itulah psikologi Agama terhitung sebagai salah satu cabang psikologi yang masih muda.
Ada beberapa pendapat tentang awal mula perkembangan Psikologi Agama. Menurut pendapat para ahli psikologi Agama di barat, psikologi Agama mulai berkembang pada abad ke-19. Akan tetapi berdasarkan karya-karya yang dihasilkan dari para ilmuwan di timur tengah, ternyata diketahui bahwa pada abad ke-7 masehi sudah banyak karya-karya para Ilmuwan Islam yang erat hubungannya dengan materi Psikologi Agama. Akan tetapi terlepas dari semua pendapat tersebut, permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi Agama ternyata telah ditemukan pada kitab-kitab suci Agama maupun maupun sejarah berbagai Agama.
Sebagai contoh, dalam Ajaran Agama Budha diceritakan bahwa Sidarta Ghautama (tokoh pencetus Agama Budha), rela menyepi dan meninggalkan kemegahan dunia untuk bertapa setelah ia merenungi penderitaan manusia yang akhirnya berujung pada kematian. Hal ini mencerminkan bagaimana pengalaman hidup dapat mengubah seorang Ghautama dari pemeluk Agama Hindu yang taat menjadi seorang pelopor Agama Budha yang tidak sedikit pengikutnya.
Dalam kitab suci umat Islam (Al Qur’an) diceritakan perjalanan seorang Nabi yang bernama Ibrahim dalam mencari hakikat siapa sebenarnya Tuhan yang berhak ia sembah. Cerita tentang Nabi Ibrahim ini termaktub dengan jelas dalam Al Qur’an surat Al An’am: 76-78. Kedua contoh di atas menggambarkan suatu proses peralihan kepercayaan yang dalam psikologi Agama disebut dengan konversi.
Makalah ini selanjutnya akan membahas tentang perkembangan psikologi Agama di Barat, timur tengah dan Indonesia, serta faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan psikologi Agama di Barat ?
2. Bagaimana perkembangan psikologi Agama di Timur Tengah?
3. Bagaimana perkembangan psikologi Agama di Indonesia?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui dan memahami tentang perkembangan psikologi Agama di Barat.
2. Mengetahui dan memahami tentang perkembangan psikologi Agama di timur tengah.
3. Mengetahui dan memahami tentang perkembangan psikologi Agama di Indonesia.


A. PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA DI BARAT
1. Pada Abad ke-19
Setelah munculnya berbagai penemuan tentang ilmu pengetahuan alam dan teknologi oleh para ilmuwan Barat, ilmu alam semakin berkembang. Penelitian Ilmiahpun tidak hanya ditujukan untuk alam saja, tetapi juga untuk manusia sebagai penghuninya. Terbitnya buku karya Darwin yang berjudul origin of Species pada tahun 1859, mengisyaratkan bahwa kehidupan manusia ternyata dapat diamati dan diteliti secara rasional. 20 tahun kemudian, Prof. Wilhem Wundt (1832-1920) dari Universitas Leipziq, mendirikan sebuah laboratorium untuk merancang dan memanfaatkan metode eksperimental yang disesuaikan untuk studi tentang perilaku manusia. Sehingga pada tahun 1879 disebut-sebut sebagai tahun kelahiran psikologi ilmiah modern. Pada tahun-tahun selanjutnya psikologi ilmiah modern makin menjadi ilmu pengetahuan yang mapan setelah berhasilnya eksperimen yang dilakukan oleh wuldt tersebut. Akan tetapi di sisi lain Agama seakan luput dari perhatian, hal ini karena Agama dianggap sebagai hal yang tabu dan suci untuk dibahas secara ilmiah. Menurut mereka penjelasan dan penyelesaian tentang hal-hal yang berhubungan dengan Agama seharusnya dicari dari kitab suci. Hal inilah yang mengakibatkan pada separuh kedua abad 19 psikologi Agama belum dikenal.
Menurut para ahli psikologi Agama Barat, kajian mengenai Psikologi Agama telah populer sejak akhir abad ke-19. Pada masa itu psikologi yang kian berkembang digunakan sebagai alat kajian Agama. Kajian semacam itu dapat membantu pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berpikir dan menemukan perasaan keagamaan. Diantara buku tentang psikologi Agama yang terbit saat itu adalah “The Psikology of Religion”, yang dikarang oleh Edwin Diller starbuck pada tahun 1899. Kemudian disusul oleh buku karangan George Albert Coe yang berjudul “The spiritual Life ” pada tahun1900.

2. Pada Abad ke-20
Seiring dengan berkembangnya psikologi pada akhir abad ke-19, pada awal abad ke-20 buku-buku yang mengkaji psikologi Agama semakin banyak dikarang dan dikaji oleh ilmuwan-ilmuwan barat. Diantara buku-buku tersebut adalah:
v Revelation Of Devine love (1901), dikarang oleh Dame julian. Buku ini mengkaji tentang wahyu.
v The varieties of Religioous experience (1903), berasal dari kumpulan materi kuliah willliam James di Skotlandia.
v The Religious Consiousness (1920), dikarang oleh J.B Pratt. Buku ini mengakji tentang kesadaran beragama.
v Studies in Islamic Mysticism (1921), dikarang oleh R.A Nicholson. Buku ini secara khusus mempelajari mengenai aliran sufisme dalam Islam.
v The Belief in God and Immorality (1921), dikarang oleh J.H. Leuba.
v The Shadu (1921), dikarang oleh A.j Appasamy dan B.h Streeter. Buku ini membahas tentang kehidupan beragama umat Hindu.
v An Introductionto The Psikology of Religion (1923), Robert H. Thouless.
Selain para penulis Barat yang tersebut di atas, banyak pula penulis non Barat yang mulai menerbitkan buku mereka.

B. PERKEMBANGAN PSOKOLOGI AGAMA DI TIMUR TENGAH
Berdasarkan fakta sejarah, sebenarnya jauh sebelum para ilmuwan Barat mengkaji tentang Psikologi Agama, para ilmuwan muslim telah banyak membahasnya. Seperti tulisan Muhammad Ishaq bin Yasar pada abad ke-7 yang berjudul Al Siyar wa Al Mahgazhi. Buku ini membahasa berbahas berbagai fragmen dari biografi Nabi Muhammad SAW. Ada pula karya Abu Bakr bin Abu Malin Bin thufail (1106-1185) yang berjudul Risalah Hayy ibn Yaqzan Fi Asrar al hikmat al Masyriqiyyat. Buku ini memuat masalah-masalah yang erat kaitannya dengan psikologi Agama.
Selain dua pengarang di atas, terdapat pula karangan Imam Al Ghazali (1059-1111) yang berjudul “ Al Munqidz min Adhalal” dan kitab ihya’ ulumuddin yang sarat akan muatan-muatan yang erat hubungannya denga Psikologi Agama.
Sebanarnya diperkirakan masih banyak lagi tulisan-tulisan karya ilmuwan muslim yang membahas tentang psikologi Agama, hanya saja tulisan-tulisan tersebut belum sempat dikembangkan menjadi disiplin ilmu tersendiri seperti yang dilakukan oleh para ilmuwan barat.
Ada beberapa alasan karya-karya Ulama Islam tidak dikembangkan sebagaimana yang dilakukan oleh Ilmuwan Barat pada saat itu. Penyebab-penyebab itu antara lain:
a. sejak masa kemunduran Negara-negara Islam, perhatian para ilmuan terhadap kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan mulai menurun. Hal ini karena pengembangan ilmu pengetahuan tentunya membutuhkan biaya yang cukup banyak. Seiring dengan kemunduran Islam dibidang politik, Negara-negara Barat mulai berkembang menjadi negara-negara modern. Dengan demikian Negara-negara Islam yang berhadapan kemajuan ilmu pengetahuan dan penjajahan barat, disibukkan oleh permasalahan politik.
b. Sejak bangsa Mongol menyerang Bagdad yang merupakan pusat peradaban Islam, serta kekalahan Islam di Andalusia, terjadi pemusnahan karya para ilmuwan Muslim.
c. Sikap para ilmuwan barat yang kurang menghargai hasil karya ilmuwan muslim (terutama setelah masa kemunduran Islam).
d. Karya-karya ilmuwan muslim di zaman klasik umumnya ditulis oleh para ilmwan yang dikenal dengan sebutan yang berkonotasi keagamaan seperti mufassirin (ahli tafsir), muhaddsiin (Ahli hadits), Fuqaha (ahli fiqh), ataupun ahl Hikmah (filosof), sehingga karya-karya mereka selalu diidentikkan dengan ilmu-ilmu yang murni Agama (Islam) atau filsafat.
Pada abad ke-20 banyak para ilmuwan Islam yang mengarang buku bertema psikologi Agama, diantaranya:
v D.R Abdul Mun’in Abdul Aziz Al Malighi (1955), mengarang buku yang berjudul Tatawwur Al syu’ur Al diny inda Thifl Wa Al Murahiq. Buku ini membahasa perkembangan rasa Agama pada anak-anak dan remaja. Selain itu beliau juga menulis buku tentang psikologi yang berjudul Annumuwwu Al Nafsy pada tahun 1957.
v Afif Abdul Fattah yang menulis buku berjudul “Ruh Al diin Al Islamy”,diterbitkan pada tahun 1956.
v Musthafa fahmi yang menyusn buku yang berjudul “Al Shihah Al Nafsiyah” , diterbitkan pada tahun 1963.

C. PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA DI INDONESIA
Perkembangan psikologi Agama di Indonesia di tandai dengan munculnya berbagai buku psikologi Agama yang dipelopori oleh para tokoh yang berprofesi sebagai ilmuwan, Agamawan, Akademisi dan di bidang kedokteran. Diantara karya-karya tersebut adalah:
v Agama dan kesehatan Badan/jiwa (1965), dikarang oleh Prof. dr. H. Aulia.
v Ilmu jiwa Agama (1970) dan Peranan Agama dalam kesehatan mental (1970), dikarang Prof. dr. Zakiah Daradjat.
v Islam dan Psikomotorik (1975), mambahas masalah Islam dan kesehatan jiwa dikarang oleh K.H. S. S. Djam’an.
v Pengantar Ilmu Jiwa Agama (1982), membahas pengalaman dan motivasi beragama, dikarang oleh dr. Nico Syukur Dister.
v Pengantar Ilmu Jiwa Agama, dikarang oleh Dr, Jalaluddin dan Dr. Ramayulis.
v Teori-teori kesehatan mental (1986), yang telah dikaji oleh Ulama-ulama muslim Zaman klasik tentang kesehatamn mental menurut pendekatan Islam, dikarang oleh Prof. Dr. Hasan Langgulung.
v Psikologi Agama (1996), dikarang oleh jalaluddin.
Sejak menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, perkembangan psikologi Agama dinilai cukup pesat, dibanding usianya yang masih tergolong muda. Hal ini antara lain disebabkan selain bidang kajian psikologi Agama menyangkut kehidupan manusia secara pribadi, maupun kelompok, bidang kajiannya juga mencakup permasalahan yang menyangkut perkembangan usia manusia. Selain itu sesuai dengan bidang cakupanya, ternyata psikologi Agama termasuk ilmu terapan yang banyak manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Perkembangan psikologi agama yang cukup pesat ini antara lain ditandai dengan diterbitkanya berbagai karya tulis baik berupa buku maupun artikel dan jurnal yang memuat kajian tentang bagaimana peran Agama dalam kehidupan manusia. Dengan demikian psikologi Agama kini telah memasuki berbagai bidang kehidupan manusia, sejak dari rumah tangga, sekolah, institut keagamaan, rumah-rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, bahkan hingga ke lembaga kemasyarakatan.
Tampaknya para ilmuwan dan agamawan yang semula berselisih pendapat mengenai psikologi Agama ini, kini seakan menyatu dalam kesepakatan yang tak tertulis, bahwa dalam kehidupan modern ini, peran Agama kian penting. Dan pendekatan psikologi Agama dapat digunakan dalam memecahkan berbagai problema kehidupan yang dihadapi manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai peradaban dan nilai moral.






















NILAI-NILAI PSIKOLOGIS MEMBACA AL-QUR’AN

A. Pengertian Al-Qur’an

Arti Al-Qur’an menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih berarti ‘bacaan’, asal kata qara`a. Kata Al-Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru` (dibaca). Adapun definisi Al-Qur’an adalah: “Kalam Allah swt. yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada nabi Muhammad saw. dan ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah.”
Dalam Tafsir Munir, Wahbah Bin Al-Musthafa Al-Zuhaili mendefinisaikan pengertian Al-Qur’an sebagai berikut: “ Al-Qur’an لdalah kitab Allah yang melemahkan, yang diturunkan lepada Nabi Muhammad SAW dengan lafad Bahasa Arab, yang tertulis dalam lembaran-lembaran, membacanya dianggap Ibadah, yang dipindahkan dengan mutawatir, dimulai dengan surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.

B. Adab Dan Tata Krama Dalam Membaca Al-Qur’an

Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu bentuk komunikasi manusia kepada Allah. Karenanya, dalam membaca dan bertadarus Al-qur’an terdapat beberapa tata krama, antara lain:
· Menggosok gigi terlebih dahulu;
· Bersuci/ mensucikan diri dari hadst besar dan kecil;
· Membaca di tempat yang bersih;
· Mengahdap kiblat;
· Membaca istiadzah;
· Membaca basmalah;
· Khusu’ membaca dan merenungi maknanya;
· Membaca seraya menangis;
· Membaca secara tartil, tidak membaca terlalu cepat, boleh menggunakan qiroah
· Tidak boleh menggunakan bahasa selain Arab.

C. Waktu Membaca Al-Qur’an

Pada hakikatnya tidak ada waktu yang makruh untuk membaca/meditasi Al-Qur’an, hanya saja memang ada beberapa dalil yang menerangkan bahwa ada waktu-waktu yang lebih utama dari waktu-waktu yang lainnya untuk membaca Al-Qur’an. Waktu-waktu tersebut adalah:
1. Dalam sholat
An-Nawawi berkata; ‘waktu-waktu pilihan yang paling utama untuk membaca Al-Qur’an ialah dalam sholat.’ Al Baihaqi meriwayatkan dalam asy Syu’ab dari Ka’ab r.a. ia berkata: “Allah telah memilih negeri-negeri, maka negeri-negeri yang lebih dicintai Allah ialah negeri al Haram (Mekkah). Allah telah memilih zaman, maka zaman yang lebih dicintai Allah ialah bulan-bulan haram. Dan bulan yang lebih dicintai Allah ialah bulan dzulhijjah. Hari-hari bulan Dzulhijjah yang lebih dicintai Allah ialah sepuluh hari yang pertama. Allah telah memilih hari-hari, maka hari yang lebih dicintai Allah ialah hari Jum?at. Malam-malam yang lebih dicintai Allah ialah malam Qadar. Allah telah memilih waktu-waktu malam dan siang, maka waktu yang lebih dicintai Allah ialah waktu-waktu sholat yang lima waktu. Allah telah memilih kalam-kalam (perkataan), maka kalam yang dicintai Allah adalah lafadz ‘La ilâha illallâh wallâhu akbar wa subhanallâhi wal hamdulillâh.“
2. Malam hari
Waktu yang paling utama untuk membaca Al-Qur’an selain waktu sholat adalah waktu malam, Allah menegaskan, “Di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sholat).” (QS. Ali Imron 3:113). Waktu malam ini pun dibagi menjadi 2, yaitu: antara waktu Maghrib dan Isya dan bagian malam yang terakhir.
3. Setelah Subuh
Waktu subuh adalah waktu saat fikiran manusia masih segar, karena sudah beristirahat di malam hari. Embaca Al-Qur’an waktu subuh akan menambah kesegaran fikiran.
D. Fungsi-Fungsi Al-Qur’an
Mengenai apa saja fungsi-fungsi yang dimiliki oleh Al-Qur’an, Al Qur’an menjelaskan sebagaiman yang dikandungnya berupa hal-hal yang dicantumkan berikut ini: 1). Petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa (2:2/5), Membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya (3:4) . 3). Bukti kebenaran dari Allah (4:174). 4). Agar menyembah Allah (11:2). 5) Agar menggunakan akal (12:2). 6). Memberi penjelasan (15:1). 7) melapangkan dada, memberi peringatan dan pelajaran mukmin (7:2), serta masih banyak lagi fungsi Al-Qur’an yang lain.
E. Nilai-Nilai Psikologis Membaca Al-Qur’an
1. Pengaruh Al-Qur’an terhadap ketentraman jiwa
Tidaklah manusia mendapat kebahagiaan tanpa adanya ketentraman jiwa, dan tidak akan mendapatkan ketentraman jiwa tanpa adanya ketenangan hati.
Setiap ketenagangan jiwa dan hati akan membawa kebahagiaan yang merupakan angan-angan bagi setiap manusia dan Sesuatu yang dicita-citakannya. Kebahagiaan yang dimaksud adalah kebahagiaan yang sebangsa ruh yang sempurna serta dapat menumbuhkan angan-angan, ridho, berbuah ketentraman dan ketenangan, kesentosaan jiwa, dan ruh menjadi nyata bagi manusia.
Ketentraman hati tidak dapat diperoleh dengan mudah. Sebab semenjak manusia dilahirkan hingga wafat selalu diliputi oleh kegelisahan, ketakutan, kesempitan, beberapa perkara yang membingungkan, keraguan dan kebimbangan. Hanya undang-undang Islam yang dapat menjadi penegak atau tonggak dasar untuk menjaga manusia dari hal-hal tersebut. Undang-undang tersebut merupakan sebuah pegangan yang luhur yang dapat memberikan rasa aman dengan dasar iman yang kokoh. Sesungguhnya kita mampu sampai pada Iman ini berkat rahmat Allah SWT dan sunnah Rasulullah. Rahmat Allah tersebut adalah Al-Qur’an yang mulia yang dapat menunjukkan kita kepada jalan keselamatan.
Dalam kehidupan kita sehari-hari Al-Qur’an dapat dijadikan undang-undang agar kita dapat mengapai nikmat-Nya. Sunguh Al-Qur’an telah membantu jiwa manusia dengan bantuan yang sempurna, yaitu bantuan yang dapat memberikan manusia pengetahuan yang benar dari jiwa yang tenang dan menjadi penyembuh tanpa menggunakan obat, yaitu hanya dengan tabiat manusia. Ini adalah cara Al-Qur’an yang mulia memberikan pertolongan terhadap jiwa manusia, pertolongan ini akan kembali manusia yang mendapat hidayah petunjuk, jalan dan kebaikan. Maka sesungguhnya Al-Qur’an yang mulia telah menjelaskan kepada kita tentang banyak hal dari beberapa ayat, yaitu tentang perkara-perkara iman yang penting bagi manusia. Sesuatu yang diperbaharui Iman yaitu menebar tanda-tanda kesentosaan dan ketenangan dalam tabiat manusia. Dengan dinisbatkan pada Allah, orang yang beriman adalah orang baik yang mendapat petunjuk dengan memaksimalkan pengaruh Al-Qur’an dengan memantapkan jiwa kepada Allah. Karena itu, saat orang-orang mukmin mengalami beberapa kesulitan dan ujian, maka sesungguhnya Al-Qur’an akan menanggungnya, yaitu dengan cara menghilangkan keraguan dalam dirinya, beberapa perkara yang pedih, menyakitkan, rasa takutnya dapat terganti dengan rasa aman selamat, kesulitannya dapat diganti dengan keberuntungan dan kenyamanan.
Sesungguhnya Al-Qur’an yang mulia akan memberikan jawaban kepada manusia atas segala sesuatu yang ada di dalam pikirannya dari beberapa perkara dunia dan akhirat.
Dari pengertian yang lalu menjadi jelas bahwa Al-Qur’an memiliki pengaruh yang besar dalam ketentraman diri dan tidak akan menjadi nyata sebuah kebahagiaan yang hakiki bagi manusia kecuali dalam perasaannya terdapat kesentosaan dan keamanan. Ia tidak akan merasakan sentosa kecuali dengan rahmat Allah. Wajib bagi kita berpegang teguh dengan kitab Allah dan mengikutinya serta memikirkan ayat-ayatnya.
Dr. Al-Qadhi, melalui penelitiannya yang panjang dan serius di Klinik Besar Florida Amerika Serikat, berhasil membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat Alquran, seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa Arab maupun bukan, dapat merasakan perubahan fisiologis yang sangat besar. Penurunan depresi, kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, menangkal berbagai macam penyakit merupakan pengaruh umum yang dirasakan orang-orang yang menjadi objek penelitiannya. Penemuan sang dokter ahli jiwa ini tidak serampangan. Penelitiannya ditunjang dengan bantuan peralatan elektronik terbaru untuk mendeteksi tekanan darah, detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik. Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan Alquran berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit.
Penelitian Dr. Al Qadhi ini diperkuat pula oleh penelitian lainnya yang dilakukan oleh dokter yang berbeda. Dalam laporan sebuah penelitian yang disampaikan dalam Konferensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984, disebutkan, Alquran terbukti mampu mendatangkan ketenangan sampai 97% bagi mereka yang mendengarkannya.
Kesimpulan hasil uji coba tersebut diperkuat lagi oleh penelitian Muhammad Salim yang dipublikasikan Universitas Boston. Objek penelitiannya terhadap 5 orang sukarelawan yang terdiri dari 3 pria dan 2 wanita. Kelima orang tersebut sama sekali tidak mengerti bahasa Arab dan mereka pun tidak diberi tahu bahwa yang akan diperdengarkannya adalah Al-Qur’an. Penelitian yang dilakukan sebanyak 210 kali ini terbagi dua sesi, yakni membacakan Alquran dengan tartil dan membacakan bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur’an. Kesimpulannya, responden mendapatkan ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan bacaan Alquran dan mendapatkan ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur’an.
Al-Quran memberikan pengaruh besar jika diperdengarkan kepada bayi. Hal tersebut diungkapkan Dr. Nurhayati dari Malaysia dalam Seminar Konseling dan Psikoterapi Islam di Malaysia pada tahun 1997. Menurut penelitiannya, bayi yang berusia 48 jam yang kepadanya diperdengarkan ayat-ayat Alquran dari tape recorder menunjukkan respons tersenyum dan menjadi lebih tenang. Sungguh suatu kebahagiaan dan merupakan kenikmatan yang besar, kita memiliki Alquran. Selain menjadi ibadah dalam membacanya, bacaannya memberikan pengaruh besar bagi kehidupan jasmani dan rohani kita. Jika mendengarkan musik klasik dapat memengaruhi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) seseorang, bacaan Alquran lebih dari itu. Selain memengaruhi IQ dan EQ, bacaan Alquran memengaruhi kecerdasan spiritual (SQ).
Mahabenar Allah yang telah berfirman, “Dan apabila dibacakan Alquran, simaklah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (Q.S. 7: 204).
“Dan Kami telah menurunkan dari Alquran, suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (Q.S.17:82).
2. Memperkuat Hafalan dan Mempertajam kecerdasan
Walaupun tidak dibarengi dengan data ilmiah, Syaikh Ibrahim bin Ismail dalam karyanya Ta’lim al Muta’alim halaman 41, sebuah kitab yang mengupas tata krama mencari ilmu berkata, “Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang kuat ingatan atau hafalannya. Di antaranya, menyedikitkan makan, membiasakan melaksanakan ibadah salat malam, dan membaca Alquran sambil melihat kepada mushaf”. Selanjutnya ia berkata, “Tak ada lagi bacaan yang dapat meningkatkan terhadap daya ingat dan memberikan ketenangan kepada seseorang kecuali membaca Al-Qur’an”.
“Ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada Allah-lah hati menjadi tentram” (Q.S. 13: 28).
3. Unsur Meditasi Al Qur’an
Kitab ini, tentu saja bukanlah sebuah buku sains ataupun buku kedokteran, namun Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai ‘penyembut penyakit’, yang oleh kaum Muslim diartikan bahwa petunjuk yang dikandungnya akan membawa manusia pada kesehatan spiritual, psikologis, dan fisik.
Kesembuhan menggunakan Al-Qur’an dapat dilakukan dengan membaca, berdekatan dengannya, mendengarkan orang yang membacanya. Membaca, mendengar, memperhatikan dan berdekatan dengannya ialah bahwasanya Al-Qur’an itu dibaca di sisi orang yang sedang menderita sakit sehingga akan turun rahmat kepada mereka. Allah saw menjelaskan,“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’raf: 204).
Menurut Ismail, salah satu unsur yang dapat dikatakan meditasi dalam Al-Quran adalah: 1). Auto sugesti 2). Relaksasi dalam hukum-hukum bacaan yaitu waqaf.
1) Aspek Auto Sugesti
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang berisikan firman-firman Allah. Banyak sekali nasihat-nasihat, berita-berita kabar gembira bagi orang yang beriman dan beramal sholeh, dan berita-berita ancaman bagi mereka yang tidak beriman dan atau tidak beramal sholeh. Maka, Al-Qur’an berisikan ucapan-ucapan yang baik, yang dalam istilah Al-Qur’an sendiri, ahsan al-hadits. Kata-kata yang penuh kebaikan sering memberikan efek auto sugesti yang positif dan yang akan menimbulkan ketenangan. Platonov telah membuktikan dalam eksperimennya bahwa kata-kata sebagai suatu Conditioned Stimulus (Premis dari Pavlov) memang benar-benar menimbulkan perubahan sesuai dengan arti atau makna kata-kata tersebut pada diri manusia. Pada eksperimen Plotonov, kata-kata yang digunakan adalah tidur, tidur dan memang individu tersebut akhirnya tertidur. Pikiran dan tubuh dapat berinteraksi dengan cara yang amat beragam untuk menimbul kan kesehatan atau penyakit. Zakiah Daradjat mengatakan bahwa sembahyang, do’a-do’a dan permohonan ampun kepada Allah, semuanya merupakan cara-cara pelegaan batin yang akan mengembalikan ketenangan dan ketentraman jiwa kepada orang-orang yang melakukannya.
2) Relaksasi pada Aspek Waqof
Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang mempunyai kode etik dalam membacanya. Membaca Al-Qur’an tidak seperti membaca bacaan-bacaan lainnya. Membaca Al-Qur’an harus tanpa nafas dalam pengertian sang pembaca harus membaca dengan sekali nafas hingga kalimat-kalimat tertentu atau hingga tanda-tanda tertentu yang dalam istilah ilmu tajwid dinamakan waqaf. Jika si pembaca berhenti pada tempat yang tidak semestinya maka dia harus membaca ulang kata atau kalimat sebelumnya. Waqof artinya berhenti di suatu kata ketika membaca Al-Qur’an, baik di akhir ayat maupun di tengah ayat dan disertai nafas. Mengikuti tanda-tanda waqof yang ada dalam Al-Qur’an, kedudukannya tidak dihukumi wajib syar’i bagi yang melanggarnya. Walaupun jika berhenti dengan sengaja pada kalimat-kalimat tertentu yang dapat merusak arti dan makna yang dimaksud, maka hukumnya haram. Jadi cara membaca Al-Qur’an itu bisa disesuaikan dengan tanda-tanda waqaf dalam Al-Qur’an atau disesuaikan dengan kemampuan si pembaca dengan syarat bahwa bacaan yang dibacanya tidak berubah arti atau makna.
REFERENSI
· Abi Zakariya Yahya bin Syarifudin An Nawawi Assyafi’i. Al Tibyan fi Adabi Hamalati Al-Qur’an. Penerbit Hidayah: Surabaya
· Blog pada WordPress.com.
· http://musiconlinecairo.multiply.com/journal/item/34
· Saad Riyadh, Ilmu An Nafs Fi Al-Qur’an Al Karim. Muassah Iqro’: 2004.
· Wahbah Al Musthafa Al Zuhaili, Tafsir Al Munir


KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN

KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN

1. LATAR BELAKANG

Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab Suci yang dijamin pemeliharaannya oleh Allah SWT. Berbeda dengan kitab suci yang lain, Al-Qur’an memiliki kemukjizatan yang sampai akhir zaman tidak akan dapat tertandingi. Terbukti, tidak satupun orang yang berhasil membuat satu surat, bahkan satu ayat saja yang setara keindahan dan hikmahnya dengan Al-Qur’an. Kalaupun ada orang-orang yang mencoba membuat dan memalsukan Al Qur’an dengan sartra buatannya, tetap tidak akan pernah dapat menandingi keindahan bahasa, bacaan, serta kedalaman makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Sejarah telah mengukir nama beberapa orang Nabi palsu yang datang dengan kitab suci buatannya sendiri, yang bertujuan untuk menandingi Al-Qur’an. Akan tetapi, mereka tidak memperoleh apa-apa kecuali hinaan dan cercaan terhadap apa yang mereka lakukan itu. Dalam makalah ini akan dibahas tentang beberapa sapek kemukjizatan Al-Qur’an ditinjau dari segi bahasa, bacaan dan kandungan maknanya.
A. Pengertain I’jaz (kemukjizatan) Al-Qur’an.
Menurut bahasa mukjizat berasal dari bahasa Arab أعجز- يعجز- أعجا زا yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelaku (yang melemahkan) disebut Mukjiz, yang tidak lain adalah Allah SWT. Hal yang mampu melemahkan pihak lain dan dapat membungkanm pihak lawan dinamakan mukjizat. Tambahan ta’ marbuthah pada akhir kata adalah untuk menunjukkan makna mubalaghah (superlatif).
I’jaz, kemukjizatan dalam bahasa arab adalah menisbatkan lemah kepada orang lain. Allah berfirman:

Secara etimologi, yang dimaksud I’jaz adalah tanda-tanda kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai Rasul dan menampakkan kelemahan orang-orang yang menampakkan Mukjizatnya. I’jazu Al Qur’an, kemukjizatan Al Qur’an adalah kekuatan, keunggulan dan keistimewaan yang dimiliki oleh Al Qur’an, sehingga tidak satupun manusia yang dapat menandinginya walaupun mereka menghimpun kelompok.
Mukjizat didefinisikan oleh para ulama Islam, antara lain sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti dari kenabiannya yang ditantangkan kepada orang-orang yang masih ragu, untuk mendatangkan hal yang serupa, tapi mereka tidak mampu melayani tantangan itu. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat juga diartikan sebagai sesuatu luar biasa yang diperlihatkan oleh Allah melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.
Dalam kitabnya, Manna’ Al Qattan mendefinisikan Mukjizat bebagai berikut:

أ مر خا رق للعا دة مقرون با لتحدي سالم عن المعارضة
Artinya:
“ suatu kejadian yang luar biasa, disertai dengan unsur tantangan dan tidak dapat ditandingi”.
Unsur-unsur yang terdapat pada mukjizat, sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, adalah sebagai berikut.

1. Hal atau peristiwa yang luar biasa
Yang dimaksud luar biasa adalah sesuatu yang ada diluar jangkauan sebab dan akibat yang diketahui secara umum hukum-hukumnya. Sehingga tidak termasuk mukjizat hal-hal yang bisa diketahui atau dipelajari oleh manusia. Misalnya sihir, hipnotis dan peristiwa-peristiwa alam yang terjadi sehari-hari, walaupun sekilas hal itu terlihat ajaib dan menakjubkan.
2. Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku dirinya Nabi
Hal-hal yang luar biasa tidak mustahil terjadi pada orang-orang yang tidak mengaku sebagai Nabi, akan tetapi hal yang seperti itu tidaklah disebut sebagai Mukjizat. Misalnya sesuatu luar biasa yang ada pada diri seorang calon Nabi, bukanlah disebut sebagai Mukjizat, akan tetapi disebut irhash. Begitu pula suatu luar biasa yang terjadi pada seorang yang dicintai oleh Allah yang disebut karamah. Tidak hanya pada orang-orang yang dicintainya saja allah memberikan suatu hal yang luar biasa, akan tetapi juga pada orang yang mendurhakainya yang disebut dengan ihanah atau istidraj (penghinaan dan rangsangan untuk lebih durhaka lagi).
3. Mengandung tantangan terhadap orang-orang yang meragukan kenabian
Adanya Mukjizat antara lain bertujuan untuk melemahkan hati orang yang meragukan dan mengingkari kenabian seorang nabi dan utusan Allah.
4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani
Apabila seorang Nabi menantang umatnya yang ingkar untuk melakukan keajaiban yang serupa dengan mukjizat yang dibawanya, ternyata umatnya yang ingkar itu berhasil, berarti pengakuan Nabi sebagai seorang penantang tidak terbukti. Perlu diketahui bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh orang-orang yang ditantang. Bahkan untuk lebih membuktikan kegagalan mereka, biasanya aspek kemukjizatan masing-masing Nabi sesuai dengan bidang keahlian umatnya.
Al Qur’an digunakan oleh Nabi untuk menantang umat beliau yang tidak percaya pada kebenaran Al-Qur’an baik pada masa itu dan masa sesudahnya. Pada masa Nabi, sungguhpun bangsa Arab memiliki tingkat falsafah dan Balaghah sedemikian tinggi dalam bidang bahasa arab, akan tetapi ternyata tidak seorangpun dari mereka yang mampu menerima tantangan Nabi untuk mendatangkan Mukjizat yang bisa menandingi Al-Qur’an. Bahkan Pada saat itu Nabi memberi kesempatan kepada mereka untuk mencoba menandingi Al Qur’an dalam tiga tahapan, yaitu:
a. Mendatangkan yang semisal Al Qur’an secara keseluruhan, sebagaimana dijelaskan dalam surat Isra’ ayat 88 berikut:
Artinya :
“Katakanlah, sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu dari sebagian yang lain.”

b. Mendatangkan sepuluh surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam surat Hud ayat 13 berikut:
Artinya:
“Bahkan mereka mengatakan: Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu. “katakanlah, kalau demikian maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat menyamainya dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.”

c. Mendatangkan satu surat saja yang menyamai surat-surat dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 23 berikut:
وأن كنتم في ريب مما نزلنا علي عبد نا فأ توا بسورة من مثله وا د عوا شهداء كم من د ون الله أ ن كنتم صد قين
Artinya:
“Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat saja yang serupa dengan Al-Qur’an itu, serta ajaklah penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”

Kesempatan yang diberikan oleh Nabi ini sama sekali tidak disia-siakan oleh kaum kafir Quraisy pada waktu. Terbukti banyak para pemimpin kaum Quraisy yang mencoba menandingi Al Qur’an dengan mengirimkan sastrawan ulung utusan mereka kepada Nabi. Bahkan dalam suatu kesepatan Allah pernah menantang untuk membuat sebuah kalimat saja yang serupa dengan AlQur’an, sesuai dengan firman Allah:
Artinya:
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal dengan al Qur’an”.
Akan tetapi walaupun Nabi telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat menandingi Al Qur’an, mereka sama sekali tidak mampu untuk melakukannya.
B. Macam-macam Mukjizat
Mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad dan Nabi-Nabi yang lainnya ada dua jenis, yaitu: hissi dan maknawi. Mukjizat yang hissi yaitu Mukjizat yang dapat dilihat oleh mata, didengar dan ditangkap oleh panca indera. Ia sengaja ditunjukkan kepada manusia yang tak mampu menggunakan akal pikiran dan kecerdasannya untuk menangkap keluarbiasaan Allah. Contohnya adalah seperti Mukjizat yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim, Nabi Isa, Nabi Musa, dan Nabi-Nabi yang lain. Mukjizat maknawi yaitu Mukjizat yang tidak dapat dicapai dengan kekuatan panca indera samata, akan tetapi juga dengan kekuatan dan kecerdasan akal pikiran. Sehingga hanya orang-orang yang memiliki akal dan pikiran yang sempurna saja yang mampu memahami Mukjizat ini.
Kedua Mukjizat ini ada dan terkandung dalam al Qur’an, bahkan yang Maknawi kadarnya lebih besar dibandingkan dengan yang hissi. Hal ini membuktikan bahwa Al Qur’an memang dipersiapkan untuk mengendalikan segala zaman. Misteri ynag dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan modern hanyalah sebagian kecil dari fenomena alam. Hakikat-hakikat tertinggi yang terkandung dalam misteri alam merupakan bukti eksistensi sang pencipta dan segala perencanaan-Nya. Hal itulah yang telah diisyaratkan oleh Al Qur’an secara global.
C. Aspek-Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an
1) Bahasa dan Bacaan
Mukjizat turun kepada suatu kaum tidak lain adalah untuk melemahkan hati dan menyadarkan mereka. Karena itulah jenis Mukjizat yang turun pastilah sudah diketahui oleh kaum tersebut, akan tetapi mereka tidak dapat menandinginya. Sebagai contoh: kaum Nabi Isa adalah kaum yang ahli dalam bidang pengobatan. Pada saat timbulnya suatu wabah dinegeri mereka, tidak satupun dapat mengobati. Pada saat itulah Allah memberikan Mukjizat kepada Nabi Isa, yaitu dapat mengobati segala macam penyakit. Lain hal nya Nabi Musa, beliau diutus pada suatu kaum yang ahli dalam bidang sihir. Pada saat kaum Nabi Musa menantangnya dengan ular-ular hasil sihir mereka, Allah memberikan Mukjizat kepada Nabi musa. Tongkat Nabi Musa yang biasa digunakan untuk mengembalakan binatang peliharaannya, dengan izin Allah bisa menjadi seekor ular besar yang akhirnya memakan ular-ular ahli sihir itu.
AlQur’an merupakan Mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Keunikan dan keitimewaan Al Qur’an dari segi bahasa merupakan kemukjizatan utama dan pertama yang ditunjukkan kepada masyarakat Arab pada lima belas abad yang lalu. Melihat kondisi bangsa Arab pada saat itu, Allah menghendaki kemukjizatan yang diperlihatkan kepada mereka pada saat itu bukan dari segi isyarat ilmiah ataupun dari pemberitaan gaib yang ada dalam Al-Qur’an. Hal itu karena kedua aspek ini berada diluar jangkauan mereka.
Menurut M. Quraish Shihab, diantara kemukjizatan Al-Qur’an ditinjau dari susunan kata dan kalimatnya (segi bahasa dan bacaannya)antara lain:
a) Nada dan Langgamnya
Marmaduke Pickthall, seorang cendikiawan Inggris mengatakan bahwa Al Qur’an memiliki simponi yang luar biasa dan tiada taranya. Setiap nada-nadanya dapat menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita. Hal itu karena huruf-huruf dari kata-kata yang dipilih dapat melahirkan keserasian bunyi, kemudian melahirkan keserasian irama dalam rangkaian ayat-ayat yang sangat indah. Misalnya saja pada surat An Nazi’at (79), ayat 1-5 berikut:
والنا زعا ت غر قا ا
والنا شطت نشط
والسا بحت سبحا
فالسابقات سبقا
فالمد برا ت أمرا
Artinya: “ Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras,
Dan (Malaikat-malaikat) yang mencabut( nyawa) dengan lemah-lembut,
Dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat,
Dan malaikat yang mendahului dengan kencang,
Dan malaikat yang mengatur urusan dunia”.


b) Memuaskan akal dan jiwa
Manusia memiliki daya pikir dan rasa (akal dan kalbu). Daya pikir mendorong manusia untuk memberikan argumentasi untuk mendukung pandangannya. Sedangkan daya rasa mendorong manusia untuk mengekspresikan keindahan dan berimajinasi. Keterpaduan antara daya piker dan rasa akan menghasilkan sebuah karya sastra yang indah. Dalam bahasa hal ini sulit sekali ditemukan. Akan tetapi dalan bahasa Al Qur’an keunikan yang terjadi adalah kemampuannya dalam menggabungkan dua hal tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam surat Yusuf yang menceritakan tentang Nabi Yusuf yang mendapatkan ujian ketika dirayu oleh Isteri pembesar Mesir.
2) Makna
a) Keindahan dan ketepatan maknanya
Ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an memiliki ketepatan dan keindahan dalam pemaknaannya. Misalnya saja dalam Al-Qur’an diuraikan tentang gambaran orang-orang kafir dan mukmin kelak diakhirat, yaitu dalam surat Az Zumar ayat 71 dan 73 sebagai berikut:

Artinya:
“ Dan diantarlah orang-orang kafir ke neraka jahanam berbondong-bondong, hingga ketika mereka sampai disana dibuka pintunya dan berkatalah kepada mereka para penjaganya: bukankah telah dating kepada kalian rasul-rasul dari jenis kamu sendiri yang membacakan ayat-ayat Tuhan kalian…?.


Artinya:
“ Dan diantarlah orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhan mereka ke syurga, hingga ketika mereka sampai kesana dibukalah pintunya, berkata para penjaganya: salam sejahtera untuk kamu semua, bahagia dan masuklah kedalam Syurga yang kekal abadi”.
Pada kedua ayat itu dijelaskan tentang cara Malaikat menerima dan mengantarkan orang mukmin dan orang kafir kelak di akhirat. Ada perbedaan kecil pada uraian ayat diatas, yaitu pada penambahan huruf wawu pada kata futihat untuk penghuni syurga yang tidak terdapat pada panghuni neraka.
Apabila dianalogikan pada sebuah ilustrasi, tentang seorang penjahat yang akan dimasukkan kepenjara. Sebelumnya pintu penjara itu tentu masih tertutup, apabila penjahat itu akan masuk barulah pintu penjara itu akan dibuka. Hal ini berbeda apabila seseorang sedang menunggu tamu yang mulia. Jauh sebelum tamu itu datang tentunya pintu sudah dibuka lebar-lebar untuk menyambutnya. Dapat diketahui, penambahan huruf wawu dapat menyebabkan perbedaan keindahan dan ketepatan makna.
b) Singkat dan padat
Menyusun kalimat yang sarat makna tapi tapi dengan kalimat yang singkat tidaklah mudah. Hal itu karena, pesan yang banyak biasanya memerlukan kata yang banyak pula. Al-Qur’an memiliki keistimewaan, kalimatnya yang singkat dapat memuat sekian banyak makna. Misalnya saja pada surat Al Baqarah (2), ayat 212 berikut:
والله يرزق من يشاء بغير حسا ب
Ayat ini bisa memiliki banyak arti antara lain:
· Allah memberikan rizqi kepad siapa saja yang dkehendakinya tanpa ada yang berhak mempertanyakan kepada-Nya mengapa Dia memperluas dan mempersempit rizqi hamba yang dikehendakinya. Maksudnya, perolehan rizqi pada dasarnya adalah karunia dari Ilahi.
· Allah memberikan rizqi pada hamba yang dikehendakinya tanpa memperhitungkan pemberian itu, karena Allah maha kaya.
· Allah memberikan rizqi kepada hamba-Nya, sedangkan hambanya itu sama sekali tidak menduga bahwa dia akan mendapatkan rizqi tersebut (mendapatkan rizqi dari jalan yang tidak disangka-sangka).
· Allah memberikan rizqi kepada seorang tanpa memperhitungkan amal-amalnya. Maksudnya, orang-orang mukmin dimasukkan kedalam Syurga tanpa dihitung amal-amalnya.
· Allah memberikan rizqi kepada seorang dengan jumlah yang sangat banyak sehingga orang itu tidak dapat menghitung nya.

KESIMPULAN
· Mukjizat adalah suatu yang luar biasa dari allah yang diperlihatkan melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.
· Tujuan adanya Mukjizat adalah untuk melemahkan hati orang-orang yang ingkar terhadap ajaran yang dibawa oleh seorang Rasul. Selain itu juga untuk menguatkan dan menabahkan hati Rasul dari keputusasaan dalam proses perjuangannya menyampaikan ajaran agama Allah.
· Al-Qur’an adalah Mukjizat teragung yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Kemukjizatan Al Qur’an itu antara lain terletak pada kehalusan dan keindahan bahasanya, selain itu juga pada kalimat-kalimat yang sarat dengan makna yang sangat agung dan dalam. Hal inilah yang menyebabkan Al Qur’an tidak dapat ditiru ataupun disamai keagungannya. Sehingga sampai akhir zaman AlQur’an akan selau terjaga dan terpelihara keasliannya.
· Dalam memahami isi dan makna Al Qur’an, dibutuhkan penghayatan dan keilmuan yang memadai. Sehingga Al Qur’an dapat benar-benar memberikan petunjuk kepada kita.



DAFTAR PUSTAKA

1) Alwi, Sayyid Muhammad. 2001. Keistemewaan-Keistimewaan Al Qur’an. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
2) Anwar, Rohison. 2004. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia
3) Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Tengku. 2002. Ilmu- Ilmu Al-Qur’an. Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra.
4) Chirzin, Muhammad. 2003. Permata Al-Qur’an. Yogyakarta: CV Qalam.
5) Denffer, Ahmad Von. 1988. Ilmu Al Qur’an Pengenalan Dasar. Jakarta: CV Rajawali.
6) Muzakki, Ahmad. 2006. Bahasa dan Sastra Dalam Al-Qur’an. Malang: UIN Press.
7) Shahrur, Muhammad. 2004. Prinsip dan Dasar Hermunetika Dalam Al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta: ELSAQ Press.

PERADABAN ISLAM DI INDONESIA SEBELUM DAN PASCA KEMERDEKAAN

PERADABAN ISLAM DI INDONESIA SEBELUM DAN PASCA KEMERDEKAAN

1. LATAR BELAKANG

Islam di Indonesia atau Asia Tenggara merupakan salah satu dari tujuh cabang peradaban Islam(sesudah hancurnya persatuan peradaban Islan yang berspusat di Baghdad pada tahun 1258M). ketujuh peradaban itu adalah: peradaban Islam Arab, Persi, Turki, Afrika hitam, Anak benua India,Arab melayu dan Islam cina. Kebudayaan peradaban yang disebut arab melayu tersebar diwilayah Asia tenggara memiliki ciri-ciri universal. Hal inilah yang menyebabkan peradaban itu tetap mempertahankan bentuk integralitasnya, dengan membawa ciri khasnya masing-masing. Indonesia adalah Negara yang memiliki penduduk yang mayoritas beragama Islam.
Walaupun Indonesia tidak memakai Islam sebagai Asas Negara, akan tetapi mayoritas kebudayaan yang diusung oleh Islam tidak sedikit mendominasi kehidupan bangsa Indonesia, khususnya penduduk yang beragama Islam. Kebudayaan- kebudayaan yang berlaku itu lama kelamaan membentuk suatu peradaban Islam yang mampu membawa penduduk Indonesia kepada kaemajuan dan kecerdasan. Sejarah telah mencatat, Peradaban Islam di Indonesia memiliki dua fase perkembangan yaitu: sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Pada dua fase ini terdapat beberapa perkembangan yang dilalui oleh peradaban Islam Indonesia. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang beberapa aspek peradaban Islam Indonesia dalam bidang seni, sastra, pendidikan, budaya, sosoal dan Agama, baik sebelum maupun pasca kemerdekaan. Selain itu juga akan dijelaskan tentang pusat peradaban Islam sebelum dan pasca kemerdekaan.

A. Perkembangan Seni Budaya Islam di Indonesia

Produk kesenian Islam di Indonesia sebenarnya sangat minim apabila dibandingkan dengan produk kesenian di negara Islam yang lain. Hal itu karena semangat yang mendorong muslim di negara lain untuk menciptakan pekerjaan besar tidak muncul di Indonesia. Kalaupun ada, biasanya hanya berasal dari pengaruh luar atau hanya berupa peniruan yang tidak begitu sempurna. Diantara penyebab kesenian Islam tidak begitu berkembang adalah:
1. Islam datang ke Indonesia akibat dampak kehancuran Baghdad, sehingga para pedagang ataupun ulama yang datang pada saat itu lebih memikirkan keselamatan mereka.
2. Di Indonesia, terutama dipulau jawa pada saat Islam dating sudah memiliki peradaban asli yang dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha. Yang sudah mengakar kuat terutama dipusat pemerintahan. Hal itu yang menyebabkan seni Islam yang harus menyesuaikan diri.
3. Umat Islam pendatang itu mayoritas adalah pedagang yang berorientasi mencari keuntungan. Kalaupun ada Ulama yang tidak berorientasi pada hal itu, akan tetapi mereka berdakwah dan tidak menetap pada tempat tertentu, sehingga mereka tidak berpikir untuk membuat sesuatu yang abadi.
4. Ketika ada usaha kaum pribumi untuk membangun, usaha itu dihancurkan oleh bangsa Barat yang sejak semula memang sudah bersikap memusuhi terhadap umat Islam.
5. Islam yang datang ke indonesia bercorak Islam Tasawuf, sehingga lebih mementingkan rohani daripada masalah duniawi.
6. Nusantara adalah negeri yang merupakan jalur perdagangan Internasional, sehingga penduduknya lebih mementingkan masalah perdagangan daripada kesenian.
7. Islam datang dengan jalan damai. Asalkan tidak melanggar aturan Agama maka hal itu tidak dilarang. Karena itulah aspek seni dan budaya yang ada di Indonesia tidak sehebat di negara Islam yang lain.

walaupun terdapat faktor-faktor yang menghambat perkembangan seni Budaya Indonesia, akan tetapi ada beberapa produk budaya yang sangat penting. Adapun kesenian Islam itu adalah:
a. Batu nisan
Kesenian Islam pertama masuk ke Indonesia adalah dalam bentuk batu nisan. Batu nisan yang ada pada saat itu didatangkan dari Gujarat. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya dibuat sendiri oleh orang-orang Indonesia, yang bentuknya sesuai dengan kebudayaan masing-masing daerah. Bentuk makam dari abad permulaan masuknya Agama Islam menjadi contoh model bagi makam Islam selanjutnya. Hal ini karena sebelum datangnya Islam tidak ada tradisi pemakaman.
b. Arsitektur (seni bangunan)
Seni bangunan yang bercorak Islami jarang sekali dijumpai di Indonesia. Hampir tidak ada bangunan Islam di Indonesia yang menunjukkan keagungan Islam yang setaraf dengan bangunan bersejarah yang ada di negara Islam lainnya. Disamping itu, Indonesia tidak memiliki satu corak tersendiri seperti Ottoman Style, India style dan Syiro Egypt style, meskipun Islam telah lima abad ada di Indonesia.
Model bangunan Islam pada saat itu masih sangat kental dengan aplikasi, bahkan peniruan model bangunan Hindu Budha. Hal ini dapat dilihat pada model-model masjid dan beberapa perlengkapannya, seperti: menara masjid, atap tumpang dan beduk raksasa yang semuanya adalah mengaplikasi bentuk budaya Hindu dan Budha.
Pasca kemerdekaan, Indonesia dapat berhubungan dengan bangsa yang lain. Maka sedikit demi sedikit unsur-unsur lama dapat dihilangkan. Atap tumpang yang sangat identik dengan bangunan ala hindu Budha dimodofikasi dengan kubah dari masjid timur tengah atau India. Selain itu, masjid-masjid di Indonesia dalam perkembangannya banyak meniru model-model masjid Negara Islam lainnya. Seperti masjid Syuhada yang ada di yogyakarta yang menyerupai taj mahal India, masjid Istiqlal yang menyerupai ottoman style yang ada di Byzantium dan masjid Al-Tien(di TMII) yang meniru model bangunan India.
c. Seni sastra
Dalam perekembangan bidang sastra, kebudayaan Indonesia banyak dipengaruhi oleh Persia, antara lain dengan adanya buku-buku yang disadur kedalam bahasa Indonesia. Buku-buku itu antara lain: kalilah wa dimnah, bayam budiman, abu nawas dan kisah seribu satu malam. Selain itu kesusastraan Islam juga berwujud syair sufi, diantara yang terkenal adalah syair yang dikarang oleh Hamzah Fansuri yang berjudul syair perahu. Selain itu ada pula seni tulisan arab yang disebut Khot. Khot yang ada di Indonesia tidak seberapa menonjol dibandingkan dengan Negara Islam yang lain. Pada awal munculya, khot ditulis pada nisan-nisan atau makam para ulama. Selain itu khot juga ditulis pada masjid sebagai hiasan dinding. Akan tetapi seni kaligrafi tidak begitu berkembang, karena penerapan kaligrafi arab sebagai hiasan sangat terbatas. Walaupun demikian, seni hias di kitab-kitab agak berkembang di Aceh dan kerajaan-kerajaan lain yang ulamanya banyak menulis kitab-kitab keagamaan.
Muncul pula berbagai seni tari religius, seperti tari saman dari Aceh, tari samroh dan rudad dari Banjarmasin, atraksi debus dari Banten dan wayang yang berasal dari Jawa. Wayang merupakan penggabungan antara seni Islam dan hindu, yang mencakup di dalamnya seni ukir, tari dan seni lagu. Pada awal munculnya Islam ada beberapa seni yang sengaja tidak terlalu dikembangkan, seperti arca, seni tuang logam mulia, dan seni lukis. Hal itu karena masih adanya perselisihan hukum Islam yang melarang tentang hal-hal itu.
Selain itu ada kesusastraan yang mempunyai sifat tersendiri, yang biasanya disebut suluk, yaiu berupa kitab-kitab yang berisi ajaran tasawuf.






PERADABAN ISLAM DI INDONESIA SEBELUM DAN PASCA KEMERDEKAAN

1. LATAR BELAKANG

Islam di Indonesia atau Asia Tenggara merupakan salah satu dari tujuh cabang peradaban Islam(sesudah hancurnya persatuan peradaban Islan yang berspusat di Baghdad pada tahun 1258M). ketujuh peradaban itu adalah: peradaban Islam Arab, Persi, Turki, Afrika hitam, Anak benua India,Arab melayu dan Islam cina. Kebudayaan peradaban yang disebut arab melayu tersebar diwilayah Asia tenggara memiliki ciri-ciri universal. Hal inilah yang menyebabkan peradaban itu tetap mempertahankan bentuk integralitasnya, dengan membawa ciri khasnya masing-masing. Indonesia adalah Negara yang memiliki penduduk yang mayoritas beragama Islam.
Walaupun Indonesia tidak memakai Islam sebagai Asas Negara, akan tetapi mayoritas kebudayaan yang diusung oleh Islam tidak sedikit mendominasi kehidupan bangsa Indonesia, khususnya penduduk yang beragama Islam. Kebudayaan- kebudayaan yang berlaku itu lama kelamaan membentuk suatu peradaban Islam yang mampu membawa penduduk Indonesia kepada kaemajuan dan kecerdasan. Sejarah telah mencatat, Peradaban Islam di Indonesia memiliki dua fase perkembangan yaitu: sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Pada dua fase ini terdapat beberapa perkembangan yang dilalui oleh peradaban Islam Indonesia. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang beberapa aspek peradaban Islam Indonesia dalam bidang seni, sastra, pendidikan, budaya, sosoal dan Agama, baik sebelum maupun pasca kemerdekaan. Selain itu juga akan dijelaskan tentang pusat peradaban Islam sebelum dan pasca kemerdekaan.

A. Perkembangan Seni Budaya Islam di Indonesia

Produk kesenian Islam di Indonesia sebenarnya sangat minim apabila dibandingkan dengan produk kesenian di negara Islam yang lain. Hal itu karena semangat yang mendorong muslim di negara lain untuk menciptakan pekerjaan besar tidak muncul di Indonesia. Kalaupun ada, biasanya hanya berasal dari pengaruh luar atau hanya berupa peniruan yang tidak begitu sempurna. Diantara penyebab kesenian Islam tidak begitu berkembang adalah:
1. Islam datang ke Indonesia akibat dampak kehancuran Baghdad, sehingga para pedagang ataupun ulama yang datang pada saat itu lebih memikirkan keselamatan mereka.
2. Di Indonesia, terutama dipulau jawa pada saat Islam dating sudah memiliki peradaban asli yang dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha. Yang sudah mengakar kuat terutama dipusat pemerintahan. Hal itu yang menyebabkan seni Islam yang harus menyesuaikan diri.
3. Umat Islam pendatang itu mayoritas adalah pedagang yang berorientasi mencari keuntungan. Kalaupun ada Ulama yang tidak berorientasi pada hal itu, akan tetapi mereka berdakwah dan tidak menetap pada tempat tertentu, sehingga mereka tidak berpikir untuk membuat sesuatu yang abadi.
4. Ketika ada usaha kaum pribumi untuk membangun, usaha itu dihancurkan oleh bangsa Barat yang sejak semula memang sudah bersikap memusuhi terhadap umat Islam.
5. Islam yang datang ke indonesia bercorak Islam Tasawuf, sehingga lebih mementingkan rohani daripada masalah duniawi.
6. Nusantara adalah negeri yang merupakan jalur perdagangan Internasional, sehingga penduduknya lebih mementingkan masalah perdagangan daripada kesenian.
7. Islam datang dengan jalan damai. Asalkan tidak melanggar aturan Agama maka hal itu tidak dilarang. Karena itulah aspek seni dan budaya yang ada di Indonesia tidak sehebat di negara Islam yang lain.

walaupun terdapat faktor-faktor yang menghambat perkembangan seni Budaya Indonesia, akan tetapi ada beberapa produk budaya yang sangat penting. Adapun kesenian Islam itu adalah:
a. Batu nisan
Kesenian Islam pertama masuk ke Indonesia adalah dalam bentuk batu nisan. Batu nisan yang ada pada saat itu didatangkan dari Gujarat. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya dibuat sendiri oleh orang-orang Indonesia, yang bentuknya sesuai dengan kebudayaan masing-masing daerah. Bentuk makam dari abad permulaan masuknya Agama Islam menjadi contoh model bagi makam Islam selanjutnya. Hal ini karena sebelum datangnya Islam tidak ada tradisi pemakaman.
b. Arsitektur (seni bangunan)
Seni bangunan yang bercorak Islami jarang sekali dijumpai di Indonesia. Hampir tidak ada bangunan Islam di Indonesia yang menunjukkan keagungan Islam yang setaraf dengan bangunan bersejarah yang ada di negara Islam lainnya. Disamping itu, Indonesia tidak memiliki satu corak tersendiri seperti Ottoman Style, India style dan Syiro Egypt style, meskipun Islam telah lima abad ada di Indonesia.
Model bangunan Islam pada saat itu masih sangat kental dengan aplikasi, bahkan peniruan model bangunan Hindu Budha. Hal ini dapat dilihat pada model-model masjid dan beberapa perlengkapannya, seperti: menara masjid, atap tumpang dan beduk raksasa yang semuanya adalah mengaplikasi bentuk budaya Hindu dan Budha.
Pasca kemerdekaan, Indonesia dapat berhubungan dengan bangsa yang lain. Maka sedikit demi sedikit unsur-unsur lama dapat dihilangkan. Atap tumpang yang sangat identik dengan bangunan ala hindu Budha dimodofikasi dengan kubah dari masjid timur tengah atau India. Selain itu, masjid-masjid di Indonesia dalam perkembangannya banyak meniru model-model masjid Negara Islam lainnya. Seperti masjid Syuhada yang ada di yogyakarta yang menyerupai taj mahal India, masjid Istiqlal yang menyerupai ottoman style yang ada di Byzantium dan masjid Al-Tien(di TMII) yang meniru model bangunan India.
c. Seni sastra
Dalam perekembangan bidang sastra, kebudayaan Indonesia banyak dipengaruhi oleh Persia, antara lain dengan adanya buku-buku yang disadur kedalam bahasa Indonesia. Buku-buku itu antara lain: kalilah wa dimnah, bayam budiman, abu nawas dan kisah seribu satu malam. Selain itu kesusastraan Islam juga berwujud syair sufi, diantara yang terkenal adalah syair yang dikarang oleh Hamzah Fansuri yang berjudul syair perahu. Selain itu ada pula seni tulisan arab yang disebut Khot. Khot yang ada di Indonesia tidak seberapa menonjol dibandingkan dengan Negara Islam yang lain. Pada awal munculya, khot ditulis pada nisan-nisan atau makam para ulama. Selain itu khot juga ditulis pada masjid sebagai hiasan dinding. Akan tetapi seni kaligrafi tidak begitu berkembang, karena penerapan kaligrafi arab sebagai hiasan sangat terbatas. Walaupun demikian, seni hias di kitab-kitab agak berkembang di Aceh dan kerajaan-kerajaan lain yang ulamanya banyak menulis kitab-kitab keagamaan.
Muncul pula berbagai seni tari religius, seperti tari saman dari Aceh, tari samroh dan rudad dari Banjarmasin, atraksi debus dari Banten dan wayang yang berasal dari Jawa. Wayang merupakan penggabungan antara seni Islam dan hindu, yang mencakup di dalamnya seni ukir, tari dan seni lagu. Pada awal munculnya Islam ada beberapa seni yang sengaja tidak terlalu dikembangkan, seperti arca, seni tuang logam mulia, dan seni lukis. Hal itu karena masih adanya perselisihan hukum Islam yang melarang tentang hal-hal itu.
Selain itu ada kesusastraan yang mempunyai sifat tersendiri, yang biasanya disebut suluk, yaiu berupa kitab-kitab yang berisi ajaran tasawuf.

PAHAM WAHABI

PAHAM WAHABI

A. LATAR BELAKANG

Munculnya Aliran-aliran Teologi dalam Ilmu Kalam merupakan wujud keberagaman yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Hal ini lah seperti yang pernah disebut kan oleh Nabi dalam Hadits beliau, bahwa: “ perbedaan pada umatku adalah rahmat”. Perbedaan yang ada disetiap aliran teologi pada dasarnya tetap menuju pada satu tujuan, yaitu meng-Esakan Allah sebagi Tuhan yang maha Rahman dan Rahim. Setiap aliran-aliran teologi Islam memiliki kensep tersendiri tentang Aqidah dan segala hal yang berhubungan dengan sah dan batalnya Aqidah seorang muslim. Golongan Wahabi walaupun hanya bisa disebut sebagai sebuah faham dalam teologi Islam, akan tetapi kemunculannya pernah sangat menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam karena ajaran-ajaran yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahab ini di sisi tertentu adalah sesat, serta dapat menghancurkan umat Islam sendiri.
Dalam malakah ini akan dibahas tentang pengertian faham Wahabi, tokoh pendirinya, Aqidah-aqidah, dan sejarah penyebarannya.

B. Biografi Pendiri Paham Wahabi

Faham Wahabi dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Nama lengkap beliau adalah Syeikh al-Islam Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Beliau berasal dari kota Unaiyah, Najed. Yaitu sebuah daerah yang terletak persis di jantung jazirah Arab. Pada saat itu Najed berada di dalam kekuasaan seorang Raja yang bernama Ibnu Su’ud. Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1111 H, meninggal pada tahun 1206 H. Menurut pendapat lain beliau dilahirkan pada tahun 1115 H/1701 M dan meninggal pada tahun 1793 M. Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang sangat kental dengan ajaran Islam. Ayah beliau yang bernama Abdul Wahab, adalah seorang yang menjabat sebagai ketua Agama di tempat tinggalnya. Sedangkan kakeknya pada saat itu menjabat sebagai seorang Qodhi (Mufti besar). Seorang Mufti adalah Ulama yang menjadi tempat tumpuan atau rujukan bagi masyarakat apabila ada masalah-masalah yang berhubungan dengan Agama Islam yang mereka rasa sulit untuk diselesaikan. Karena tumbuh di dalam didikan keluarga yang sangat faham masalah Agama, maka Muhammad kecil tumbuh seorang anak yang mendapatkan pendidikan Agama yang baik. Beliau mendapatkan bimbingan sendiri dari ayah dan ibunya. Dengan izin Allah dan karena tingkat kecerdasannya yang tinggi, maka pada usia 10 tahun beliau telah dapat menghafalkan Al Qur’an 30 juz dengan sempurna.
Setelah beranjak remaja beliau menuntut ilmu Agama di Madinah dengan cara pulang balik dari Makkah. Beliau berguru pada Ulama-Ulama ternama pada zaman itu, seperti: Syeikh Muhammad bin Sulaiman, Al Kurdi As-Syafi’I dan Syekh Muhammad Hayat As-Sanadi al-Hanafi. Dalam ilmu Tauhid beliau belajar dari Ibnu Qayyim al- jauziyyah, yaitu murid dari Ibnu Taimiyyah yang mengikuti ajaran imam Ahmad bin Hambal. Imam Ahmad bin Hambal adalah pendiri salah satu aliran teologi yang disebut dengan aliran Salafiyah. Setelah Muhammad bin Abdul Wahab berguru pada Ulama-Ulama yang beraliran Salafi ini, beliau kemudian pulang dan menyebarkan sebuah aliran/faham yang disebutnya sebagai gerakan atau aliran pembaharuan dalam Islam. Pertanyaan yang mendasar apabila kita menyebutkan nama Wahabi adalah: apakah Wahabi adalah termasuk aliran Teologi Islam ataukah hanya bisa disebut sebagai sebuah faham atau gerakan?. Apabila kita melihat pada asal-usul berdirinya Wahabi dan guru-guru yang dianut oleh Muhammad bin Abdul Wahab, maka Wahabi belumlah bisa disebut sebuah aliran Teologi seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah atau yang lainnya. Hal itu karena pokok-pokok ajaran yang dipakai oleh kaum Wahabi adalah ajaran-ajaran Tauhid yang diperoleh Muhammad bin Abdul Wahab dari Para gurunya yang menganut Madzhab Hambali. Madzhab Hambali adalah Madzhab yang terkenal cukup ketat dalam berpegang pada Nash Al Qur’an dan Hadits, sehingga dalam membahas masalah Agama ia jarang sekali menggunakan unsur logika dalam membahas suatu Nash.

C. Sejarah Penyebaran Faham Wahabi

Muhammad bin Abdul Wahab pertama kali menyebarkan fahamnya di wilayah timur, yaitu di daerah kelahirannya sendiri (Najed) pada tahun 1143 H. proses penyebaran faham Wahabi menjadi sangat lancar karena pandainya Muhammad bin Abdul wahab dalam mengambil hati raja yang berkuasa di Najed pada saat itu. Raja yang berkuasa pada saat itu adalah raja Muhammad bin Su’ud. Dengan dukungan sepenuhnya dari raja Su’ud, penyebaran dan pengembangan faham Wahabi di Najed menjadi sangat lancar. Sehingga pada tahun 1150 H penyebaran faham Wahabi telah merata di seluruh pelosok daerah Najed. Pengikut-pengikut faham Wahabi pada saat itu mayoritas berasal dari suku/kabilah-kabilah Arab yang tinggal di daerah pegunungan. Karena jarang tersentuh oleh ajaran Agama, maka tingkat pengetahuan mereka tentang masalah Agama tergolong sangat rendah. Tidak heran, mereka dengan suka cita mengikuti faham wahabi yang dibawa oleh putra daerah mereka sendiri, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab. Dengan penuh kerelaan mereka mau mengikuti faham Wahabi karena mereka percaya terhadap apa yang dikatakan Muhammad bin Abdul Wahab bahwa: misi yang dibawanya adalah penyebaran dan pemurnian Tauhid yang mulia. Salah satu statement yang diucapkan oleh beliau adalah:“aku mengajak kamu semua untuk memasuki Agama, seluruh apa yang ada adalah berada di bawah tujuh perangkap kemusyrikan secara mutlak, maka barangsiapa yang membunuh seorang yang musyrik maka baginya pahala Syurga”. Masyarakat pegunungan itu sangat loyal terhadap Muhammad bin Abdul Wahab, sehingga mereka tidak berani menentang apa yang diperintahkan dan tidak melanggar apa yang ia larang. Perluasan faham Wahabi tidak hanya terbatas di Najed saja, tetapi juga sampai ke Makkah. Pada saat pemerintahan Negara Makkah diperintah oleh raja Mas’ud bin Said in Sa’ad bin Zaid. Muhammad bin Abdul Wahab mengirimkan 30 orang ulama dari golongan mereka untuk meminta izin menunaikan ibadah haji kepada raja Mas’ud. Misi yang sebenarnya mereka bawa adalah menyebarkan faham Wahabi kepada penduduk Makkah serta kepada para jamaah Haji yang datang berkunjung ke Makkah.
Orang-orang Makkah dan Madinah pada saat itu telah mendengar keberadan faham Wahabi yang ada di Najed, seta kerusakan yang mereka lakukan pada Aqidah orang-orang pegunungan. Akan tetapi mereka belum mengetahuinya sendiri. Karena itu, ketika para utusan dari kaum Wahabi datang, raja Mas’ud memerintahkan Ulama-Ulama utusannya untuk berdiskusi dengan mereka. Hasil dari diskusi tesebut ternyata sangat memojokkan kaum Wahabi, sehingga mereka (kaum Wahabi) menuai kekalahan dan ejekan dari Ulama-Ulama Makkah dan Madinah. Para Ulama Makkah dan Madinah itu berpendapat bahwa Aqidah yang dibawa oleh kaum Wahabi adalah aqidah yang banyak mengandung kekafiran. Karena itu, setelah para Ulama Makkah menjelaskan alasan (hujjah) yang jelas, raja Mas’ud menginstruksikan kepada hakim pengadilan Syariah untuk membukukan (mengkondifikasikan) hujjah tentang kekafiran mereka. Hal itu dimaksudkan agar umat Islam tahu dan mengerti bahwa ajaran Tauhid yang dibawa oleh faham Wahabi adalah ajaran Tauhid yang menyesatkan umat Islam. Setelah kejadian tersebut, para utusan kaum Wahabi itu dijatuhi hukuman yang berat. Akan tetapi sebagian dari mereka ada yang berhasil lolos dan kembali kepada Muhammad bin Abdul Wahab.
Tidak puas dengan kekalahan yang telah mereka dapatkan, pada tahun berikutnya Muhammad bin Abdul Wahab kembali mengirimkan utusan ke Makkah untuk menyebarkan ajarannya. Tepatnya pada pemerintahan Raja Musa’id bin Sa’id (beliau adalah pengganti dari raja Mas’ud setelah beliau wafat pada tahun 1165 H). Akan tetapi kedatangan utusan tersebut selalu saja ditolak oleh raja yang sedang berkuasa pada saat itu. Perjuangan mereka tidak berhenti sampai disitu, setiap tahun Muhammad bin Abdul Wahab selalu mengirimkan utusannya, yaitu mulai dari pemerintahan Raja Ahmad bin Musa’id (1184-1186), Raja Surur bin Musa’id (1186-1206), Raja Gholib bin Musa’id (1205-1220 H). pada masa yang tersebut di atas, masuknya faham Wahabi ke negara Makkah masih bisa ditahan seiring dengan gencarnya Raja yang memerintah pada saat itu untuk mencegahnya. Akan tetapi setelah tahun 1205, kekuatan pemerintah untuk menolak faham Wahabi sangat lemah. Hal itu karena propaganda dan usaha yang dilancarkan kaum Wahabi berlangsung terus-menerus tanpa ada kata menyerah. Sehingga pada tahun 1220 mereka dapat memasuki Jazirah Arab dengan sempurna. Perluasan wilayah dakwah mereka sudah meliputi seluruh daerah yang ada di Jazirah Arab, seperti: Oman Bahrain, Baghdad dan Bashrah.
Cara yang mereka lakukan ini merupakan cara yang efektif, yaitu dengan menaklukkan daerah yang ada di sekitar Makkah seperti Thaif dan kabilah-kabilah yang ada di sekitarnya sebelum mereka dapat menguasai Makkah. Usaha mereka untuk memasuki daerah yang ada di Jazirah Arab ini mereka lakukan dengan cara penyerangan terhadap yang mereka maksudkan. Sejarah telah mencatat penyerangan keji yang telah mereka lakukan ketika mereka hendak menaklukkan daerah Thaif pada bulan DzulQa’dah tahun 1217. Mereka melakukan pertumpahan darah secara besar-besaran dengan membunuh orang-orang dewasa, anak-anak yang tidak berdosa, rakyat kecil dan para pemimpin. Bahkan disebutkam mereka dengan tega melakukan penyembelihan terhadap anak-anak kecil di atas dada ibunya, merampas harta dan memaki-maki wanita yang sama sekali tidak bersalah apa-apa. Selain itu masih banyak lagi kekejaman yang mereka lakukan sebagai usaha mereka untuk menyebarkan dan memperluas faham yang mereka anut.
Pada bulam Muharram tahun 1218 H, mereka mulai menuju Makkah dan berniat untuk mengadakan penyerangan. Pada saat itu, kondisi pemerintahan sudah sangat tidak memungkinkan untuk mengadakan penolakan terhadap kedatangan kaum Wahabi tersebut. Akhirnya dengan sangat terpaksa Raja Ghalib harus meninggalkan Makkah dan mengungsi serta berdiam di Jiddah. Sementara itu penduduk Makkah yang masih tinggal, bersiap-siap menyambut kedatangan pasukan kaum Wahabi dengan serangan balik tidak jauh dari pintu gerbang kota Makkah. Akan tetapi mereka membuat tipu daya dengan mengajukan perjanjian damai dengan penduduk Makkah, sehingga mereka akhirnya dapat memasuki kota Makkah dengan aman. Setelah itu mereka masuk kekota Jiddah dan hendak melakukan pembunuhan terhadap raja Ghalib, tapi usaha itu tidak berhasil karena raja mengadakan perlawanan dengan cara memerangi mereka sehingga mereka tidak dapat memasuki kota Jeddah. Setelah itu mereka langsung menarik mundur pasukan mereka dan pulang ke Najed pada bulan Shafar tahun 1218 H.
Pada bulan Rabi’ul awal di tahun yang sama, raja Ghalib kembali ke Makkah beserta bala tentaranya dan kembali memerintah di Makkah dengan aman. Akan tetapi, tidak lama kemudian timbul peperangan lagi antara kaum Wahabi dengan Raja Ghalib sampai tahun 1220 H, yang diakhiri dengan kemenangan di pihak kaum Wahabi. Cara yang mereka pergunakan untuk menguasai kota Makkah pada saat itu adalah dengan mengepung penduduk, sehingga penduduk tidak dapat melakukan aktifitas kesehariannya karena takut akan kekejaman yang dilakukan kaum Wahabi kepada mereka. Pada saat itulah musibah kelaparan melanda penduduk Makkah. Melihat kondisi rakyatnya yang sangat menderita, raja Ghalib memutuskan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum Wahabi. Setelah itu, maka kaum Wahabi kembali dapat memasuki Makkah dan dapat melancarkan dakwahnya pada penduduk Makkah dan para jama’ah Haji yang datang mengunjungi Baitullah.
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud dan Gubernurnya yang berada di Mesir, perlawanan terhadap kaum Wahabi mulai dilakukan kembali. Pada saat itu Sultan Mahmud menyiapkan bala tentaranya untuk menyerang kaum Wahabi. Tujuan dari penyerangan tersebut adalah agar kaum Wahabi dapat diusir dari Makkah dan Madinah, kemudian memerangi mereka di daerah mereka sendiri. Penyerangan Sultan Mahmud dan bala tentaranya terhadap kaum Wahabi di daerah Najed itu dipimpin sendiri oleh Sultan Mahmud. Akhirnya kaum Wahabi dapat dipukul mundur dari Makkah pada tahun 1227 H.
Muhammad bin Abdul Wahab melancarkan dakwah nya kepada umat Islam yang pengetahuannya tentang Agama sangat minim, sehingga mereka dapat dengan mudah disesatkan dan diperdaya. Dalam menyebarkan fahamnya kaum Wahabi selau saja mengaku bahawa mereka adalah golongan yang senantiasa berusaha memperjuangkan kemurnian Tauhid dan menegakkan Syariat Agama Islam. Muhammad bin Abdul Wahab selalu saja memerintahkan kepada para pengikutnya untuk tidak meninggalkan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, seperti sholat, zakat, haji dan rukun Islam yang lain. Serta selalu mengingatkan para pengikutnya untuk selalu berusah meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Apabila dilihat dari sudut pandang cara mereka taat dan patuh kepada Allah, tentu saja apa yang diajarkan Muhammad bin Abdul Wahab itu tidak salah. Akan tetapi kesalahan fatal yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab adalah sikapnya selalu dengan mudah menganggap golongan orang-orang Islam lain yang tidak memihak fahamnya adalah sesat dan kafir. Hal itu terbukti dengan ketetapan yang dinyatakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab bahwa darah umat Islam itu halal untuk dialirkan dan hartanya boleh untuk dirampas. Ia selalu mengkafirkam umat Islam dengan mempergunakan ayat-ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan kaum musyrikin kemudian hal itu ia gunakan untuk mengkafirkan orang-orang yang mengesakan Allah SWT. Sikap yang dilakukan oleh kaum Wahabi ini sangat persis dengan yang dilakukan golongan Khowarij. Imam Bukhori pernah meriwayatkan sebuah Hadits dari Abdullah Ibnu Umar yang menerangkan sifat-sifat dari Kaum Khowarij, yang artinya:
“sesungguhnya mereka menerapkan ayat-ayat yang diturunkan berkenaan dengan orang kafir, kepada orang-orang mukmin”.

Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar Nabi pernah bersabda, yang artinya:
“sesuatu yang paling aku takut kan atas umat ku adalah seseorang yang manta’wili Al Qur’an bukan pada tempatnya”.
Hadits di atas sangat sesuai bila diidentikkan dengan apa yang telah dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab dan para pengikutnya. Jadi walaupun pada lahiriahnya ia sangat mendukung Madzhab imam Ahmad bin Hambal, akan tetapi hal itu hanyalah sebagai kedok untuk mengelabui umat.

Ritual yang menjadi ciri kaumWahabi apabila menerima anggota baru yang ingin bergabung dengan mereka adalah:menyuruh orang itu membaca dua kalimat Syahadat terlebih dahulu, kemudian mereka berkata kepadanya : “aku bersaksi atas dirimu, bahwa engkau adalah orang kafir dan aku bersaksi atas kedua orang tuamu bahwa mereka telah meninggal dalam keadaan kafir, serta aku bersaksi bahawa si fulan dan si fulan adalah orang kafir (mereka kemudian menyebutkan nama sifulan itu dari nama Ulama terdahulu)”. Apabila seseorang mau memenuhi persyaratan yang seperti itu, maka barulah ia diakui sebagai anggota baru yang berhak mengikuti jama’ahnya. Apabila ia tidak mau memenuhi persyaratan tersebut, maka ia akan dibunuh.
Muhammad bin Abdul Wahab sangat keras dan Ekstrim dalam menyikapi orang Islam yang tidak termasuk dari golongannya. Sampai-sampai Muhammad bin Abdul Wahab pernah bahwa apabila ada anggota baru yang sudah pernah melakukan ibadah Hajji sebelum ia masuk kedalam fahamnya, maka hukum ibadah haji yang dilakukan oleh orang tersebut adalah tidak sah dan harus diulang. Hal itu karena mereka mengklaim orang yang tidak masuk dalam faham wahabi adalah kafir, dan ibadah yang dilakukannya tidak sah menurut mereka. Orang-orang Wahabi yang berada di luar negeri mereka sebut sebagai kaum Muhajirin, dan yang ada di dalam negeri mereka sebut sebagai kaum Anshar. Dari sikap Muhammad bin Abdul Wahab tersebut, tampaklah bahwa ia akan mendakwahkan dirinya sebagai seorang Nabi, hanya ia tidak kuasa untuk mengatakannya. Hal itu karena jauh sebelum dia menyebarkan misinya, ia gemar sekali menyimak berita orang-orang yang pernah mengaku sebagai Nabi Seperti: Musailamah al-Kadzdzab, Sujjah, Aswad al- Unsadan dan Thulaihah al-Asady, sehingga seolah-olah dia telah menyimpan dalam hatinya bahwa ia adalah seorang Nabi. Terbukti ia pernah mengucapkan: “aku datang kepadamu dengan membawa Agama baru”. Dengan demikian jelaslah bahwa keinginan dirinya untuk dapat disebut sebagai Nabi terus ia sembunyikan sampai ia dapat menyebarkan faham yang di bawanya. Dari sikap dan perkataannya ia telah menikam ajaran para Madzhab Umat serta perkataan para Ulama dan tidak menerima Agama Nabi Muhammad. Kalaupun ia menerima adanya Al Qur’an, akan tetapi selalu ia tafsirkan sendiri dengan seenaknya. Dia hanya menerima Al Qur’an dari segi lahiriyahnya saja, agar orang tidak mengetahui bahwa misi yang dibawanya adalah misi yang sesat dan jauh dari ketentuan Syariat. Karena itu, walaupun Muhammad bin Abdul Wahab mengaku bahwa ia mengambil sumber hukum Islam dari Imam Ahmad bin Hambal, akan tetapi itu sebenarnya tidak benar. Bahkan Ulama-Ulama dari golongan Hanabilah pun pernah menentang apa yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan mengarang buku-buku yang isinya adalah menolak pengakuan Muhammad bin Abdul Wahab. Hal itu antara lain dilakukan oleh ayah dan saudara kandungnya sendiri yaitu: Abdul Wahab dan Syeikh Sulaiman.

C. SIKAP PARA ULAMA TERHADAP PAHAM WAHABI

Para ulama dari keempat madzhab sangat menolak adanya faham Wahabi. Penolakan itu mereka wujudkan dengan menyusun buku-buku yang menjelaskan tentang kemurnian Tauhid, dan mengungkap kesalahan aqidah yang ada dalam faham Wahabi. Hal itu mereka lakukan karena mereka mengamalkan sabda Rasul SAW:
اذا ظهرت اليدع زسكت العالم فعليه لعنة الله والملائكة والناس اجمعين
Artinya : “apabila perkara-perkara bid’ah telah lahir, dan para alim ulama diam saja, maka laknat Allah dan para malaikat-Nya serta seluruh manusia akan ditimpakan kepadanya”.

Dan sabda Rasulullah yang berbunyi:
o ماظهلر أهل بدعة إلا اظهر الله فيهم حجته على لسان من شاء من خلعه
Artinya: “Tidaklah lahir ahli bid’ah, kecuali Allah melahirkan pula hujjah-Nya pada mereka melalui lisan orang-orang yang dikehendaki dari mahkluk-Nya”.

Karena itu para ulama dari seluruh madzhab baik timur ataupun barat telah berusaha menolak mereka bahkan ada sebagian ulama yang merasa berkewajiban untuk menolaknya dengan menggunakan pendapat-pendapat Imam Ahmad ibnu Hambal. Diantara ulama yang menyusun buku yang menolak ajaran faham Wahabi adalah Syekh Muhammad bin Abdur Rahman bin Afaaliq. Ia menyusun buku besar yang berjudul “ Tahakkumul Muwallidiin bi Man idda’a tajdidad Diin” yang artinya ejekan para pengikut penyeru pembaharu Agama. Di dalam kitab tersebut ia menolak setiap ajaran-ajaran Wahabi dengan sengit. Selain itu ia juga menjelaskan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab ternyata tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan olehnya.

D. HADITS-HADITS YANG MEMBERITAKAN AKAN DATANGNYA FAHAM WAHABI

Sikap Muhammad bin Abdul Wahab yang selalu menghukumi kafir pada setiap orang Islam yang tidak masuk dalam golongannya adalah sama seperti sikap yang dilakukan oleh golongan Khawarij. Adapun tentang munculnya golongan Khawarij ini, Nabi Muhammad SAW telah memberitakan akan kemunculannya jauh sebelum munculnya aliran-aliran teologi yang ada dalam ilmu kalam. Itulah salah satu mukjizat yang menguatkan kerasulan Nabi, yaitu dapat mengetahui hal-hal yang gaib. Telah disebutkan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Musim, antara lain:
الفتة من ههنا الفتة من ههنا واشار اليه الى المش
Artinya: “fitnah itu datangnya dari sini, fitnah itu datangnya dari sini, sambil memberikan isyarat ke arah timur”.

يخرج ناس من قبل المشرق ويقرءون القرأن لايجاوز تراقيهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية لايعودون فيه حتى يعود السهم الى نوقه سيماهم التحليق
Artinya: “Akan muncul segolongan manusia dari arah timur, mereka membaca Al-Qur’an tapi tidak bisa membersihkannya, mereka keluar dari Agamanya sperti anak panah yang keluar dari busurnya. Mereka tidak akan kembali ke Agama hingga anak panah itu kembali ketempatnya (busurnya), tanda-tanda merelka adalah bercukur kepala”.
Dalam Hadits-hadits di atas dijelaskan, bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur kepala, hal ini jelas ditujukan pada kaum kharijin yang datang dari arah timur, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab dan para pengikutnya. Ciri khas ini tidaklah dijumpai pada aliran-aliran sesat lainnya.
Selain Hadits-Hadits yang disebutkan di atas ada juga yang menjelaskan dan mengisyaratkan akan adanya keguncangan dan tanduk syaitan yang muncul dari arah timur. Maka sebagian Ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua tanduk syaitan adalah Musailamah Al-Kadzdzab dab Muhammad bin Abdul Wahab. Hadits tersebut adalah:
سيظهر من نجد شيطان تززل جزيرة العرب من فتنه
Artinya: “akan lahir Syaitan dari Naged,jazirah Arab akan goncang karena fitnahnya”.




PERANAN KHOTIB DALAM MENDIDIK MASYARAKAT

PERANAN KHOTIB DALAM MENDIDIK MASYARAKAT

1. LATAR BELAKANG

Dalam pendidikan terdapat beberapa komponen penting yang tidak bisa dinafikan keberadaannya. Komponen itu adalah pendidik, peserta didik, alat pendidikan dan tujuan pendidikan. Kelima komponen tersebut saling mendukung terwujudnya pendidikan yang baik dan ideal. Dalam Paper ini akan dibahas tentang peran Khotib (Penceramah) sebagai salah satu komponen pendidik dalam masyarakat.
Khotib adalah seorang yang berperan penting dalam mendidik masyarakat, disamping para Guru dan tenaga pendidik lainnya. Peran Khotib menjadi sangat urgen mengingat kondisi masyarakat yang sedang mengalami dekadensi moral dan pengikisan nilai-nilai Budaya luhur yang ada di dalam masyarakat.
Sebagai salah satu komponen pendidik, fungsi Khotib di masyarakat memiliki esensi yang sangat dalam, yaitu sebagai seorang yang mendakwahkan Risalah ajaran Agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Selain itu seorang Khotib adalah sosok yang patut untuk dijadikan contoh (suri tauladan) yang baik.

2. PENGERTIAN KHOTIB

Apabila ditinjau dari etimologisnya, Kata Khotib berasal dari bahasa Arab “Khotibun” yang berarti orang yang berkhotbah (orang yang memberikan ceramah tentang Agama Islam). Dalam Term lain juga ditemukan kata Da’i yang artinya orang yang mengajak kepada jalan kebenaran (Islam) dan Muballigh yang berarti orang yang menyampaikan. Perbedaan kata antara Khotib, Da’i dan Muballigh ini pada dasarnya hanya terletak pada lafdziahnya (kata) saja. Sedangkan menurut prakteknya , baik Khotib, Da’i maupun Muballigh adalah sama-sama Seorang penyambung lidah Nabi dan para Auliya’. Mereka menyampaikan risalah-risalah Agama Islam yang ada dalam Al Qur’an dan Hadits, serta mengambil suri tauladan yang baik dari para Nabi dan para sahabatnya.
Dalam proses penyampaian Risalah Nabi kepada seluruh khalayak ramai (masyarakat) Khotib menggunakan sebuah media yang bernama Dakwah. Dakwah adalah media yang sanagt efektif untuk membantu penyebaran Agama Islam, serta membimbing umat manusia dari kesesatan yang nyata menuju sebuah titik terang yang disebut “Islam”.

a. Pengertian Dakwah
Ditinjau dari segi etimologis (bahasa) nya, kata Dakwah mencakup segala kegiatan (aktivitas) amar ma’ruf nahi munkar. Yaitu segala aktifitas yang dilakukan seseorang dengan tujuan mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Makna ini tidak menunjukkan makna Dakwah secara luas.
Adapun amar ma’ruf nahi munkar adalah: upaya internal untuk mengikuti Islam oleh kaum Muslim sendiri. Hal itu bertujuan agar umat Islam tetap dapat menempuh jalan Agama Islam dan tidak menyimpang dari jalan yang lurus.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tugas para pelaku amar ma’ruf nahi mungkar adalah sebagai penjaga Syariat dan pelindung Undang-undang. Sedangkan tugas para juru dakwah hidup di pos-pos “pencidukan”. Sasaran mereka adalah orang-orang non Muslim yang sedang bingung tersesat dan gelisah.
Mohammad Nasir dalam buku fiqhud Dakwah, mengaatakan bahwa ada tiga metode dakwah yang sangat relevan disampaikan di tengah masyarakat. Yaitu dakwah bil lisan, dakwah bil kalam dan dakwah bil hal. Dalam prakteknya dewasa ini, baru Dakwah bil lisan (dakwah dengan menggunakan lisan) yang sering dilakukan. Sementara Dakwah bil Kalam dan bil hal (dakwah dengan perbuatan) masih jauh dari harapan. Itulah sebabanya kualitas Dakwah hingga kini masih memprihatinkan.
Dakwah bil lisan selalu didentikkan dengan penggunaan lisan sebagai media. Dakwah bil lisan ini biasa disebut dengan pidato. Pidato dalam Islam dipandang sebagai salah satu model dakwah dan tabligh melalui kemampuan lisan. Model ini mempunyai pengaruh yang luar biasa dan telah dilakukan oleh para Nabi dan para Khotib dari generasi kegenarasi. Menjadi seorang Khotib merupakan suatu suatu tugas yang mulia. Dalam salah satu sabda-Nya, Rasulullah SAW pernah menyatakan:
نضر الله أمرأ سمع منا حد يثا فحفظه حتى يبلغه غيره

Artinya: “Allah menjadikan bagus, seseorang yang mendengar Hadits dari kami, lantas dia menghafalnya sampai kemuadian ia sampaikan kepada orang lain”.

Khotib (orang yang ahli pidato) dalah orang yang memiliki perasaan yang halus dan dalam. Selain itu ia juga memiliki semangat intuk mendorong orang lain dalam berbuat kebajikan. Seorang Khotib memilki pemikiran yang dalam dan lus serta memiliki keistemewaan dalam menyampaikan penjelasan, argumentasi dan lai-lain. Seni berpidato, dalam tataran prakteknya ada bermacam-macam diantaranya: pidato Khotbah jum’ah, Khotbah idul Fitri dan Idul adha, Khotbah memompa semangat berjihad, Khutbah dalam berbagai acara perayaan, Khotbah Amar ma’ruf nahi Munkar, Khotbah wasiat, Khotbah Nikah dan lain-lain.
Agar seorang Khotib dapat sukses dalam pidatonya, dakwahnya dapat diterima oleh para pendengar, baik dalam penyampaian dan kuat dalam berargumen, maka seorang Khotib hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Ø Mempersaksikan masalah yang sedang dibahasnya dengan ayat-ayat Al Qur’an, Hadits-hadits Nabi dan praktik kehidupan Rasulullah dan para sahabat yang mulia.
Ø Memperkuat Dakwahnya dengan kisah-kisah yang ada dalam Al qur’an dan As Sunnah. Apabila kisah-kisah itu masih terkesan abstrak, maka ia harus berusaha mendeskripsikan dengan hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indera.
Ø Seorang khotib hendaklah tidak berpanjang-panjang dalam pidatonya. Hal itu karena Islam sangat menentang segala sesuatu yang bersifat berlebihan, termasuk juga dalam berpidato. Kecuali apabila kondisi yang memaksa untuk berbuat demikian. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“sesungguhnya panjangnya sholat seseorang dan pendeknya Khotbah yang ia sampaikan adalah tanda dari kepahamannya. Maka panjangkanlah Sholat kalian dan pendekkanlah Khotbah kalian.dan sesunggunya di dalam penjelasan yang panjang itu terdapar tipu daya”.

Ø Seorang khotib jangan teralu sering menyampaikan podatonya terhadap orang yang sama, agar mereka tidak merasa jemu.
Ø Hendaklah pembicaraan Khotib jelas dan dalam taraf yang sedang, mengingat kondisi, kefahaman dan daya nalar seseorang yang sanagat beragam. Dalam hal ini Khotib yang mampu “berdialog” dengan masyarakat sesuai dengan kemampuan nalar mereka.
Ø Seorang Khotib harus menghindari pembicaraan yang dibuat-buat atau difasih-fasihkan.
Ø Seorang Khotib hendaknya menyampaikan hal-hal yang diperlukan oleh pendengarnya. Selain itu cara penyampainya haruslah bervariasi (tidak monoton), disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu.


b. Landasan Para Khotib Memilih Jalan Dakwah
Dakwah ibarat lentera kehidupan yang memberikan cahaya, serta menerangi kehidupan manusia dari nestapa kegelapan. Pada saat manusia dilanda kegersanagan spiritual, dengan rapuhnya akhlak. Umat Islam adalah umat pendakwah yang memiliki risalah dari para Nabi. Dakwah adalah tugas mulia yang dibebankan oleh Allah kepada setiap orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana firman Allah yang termaktub dalam Al Qur’an surat Yusuf ayat 108:
Artinya: Katakanlah: "Inilah jalan ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (Q.S Yusuf: 108)

Dengan demikian setiap orang yang mengaku mengikuti Rasulullah SAW dituntut untuk menebar dakwah menuju Allah dengan penuh kesadaran dan keyakinan. Sebagaimana yang dijalankan Rasulullah SAW. Allah menegaskan kembali kepada umat Muhammad akan tugas mulia ini dengan firman-Nya:

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka lah orang-orang yang beruntung”.
Dalam Tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Hendaknya ada sekelompok dari umat Islam yang secara khusus mengemban tugas ini, sekalipun kewajiban dakwah berlaku bagi setiap individu Muslim.”
Apabila umat ini telah mejalankan dakwah dengan menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, maka mereka pantas untuk menyandang gelar “Khairu ummah”(umat yang terbaik) yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an:


Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran:110).

Apabila dakwah wajib atas setiap individu Muslim, maka itu berarti tugas ini tidak hanya dijalani oleh para Ulama saja. Akan tetapi golongan Ulama adalah orang yang paling berkompetensi secara khusus terhadap detail-detail dakwah dan hokum-hukum Syari’ah. Mereka itulah yang berada di barisan depan sekaligus panutan bagi dakwah di jalan Allah. Namun demikian, pada prinsipnya setiap idividu muslim tetap berkewajiban menyeru kejalan allah dengan apa saja yang mereka ketahui, mengingat sabda Nabi:
بلغواعني ولوأيةَ
Artinya: “ Sampaikanlah dari ku walau hanya satu ayat”. (HR. Bukhori).

Apabila Al-Bashirah (keyakinan dan pengetahuan yang dalam) termasuk sederetan syarat pelaksana Dakwah, maka syarat ini tidak dapat dipahami secara mutlak mengingat pengetahuan (ilmu) bukanlah suatu yang tunggal yang tak terbagi. Ilmu secara alamiah memang terbagi dalam berbagai cabang. Jadi, seseorang yang mengetahui dan memahami suatu masalah, sangat mungkin dia tidak mengetahui masalah yang lain. Dengan demikian dia dikatakan orang yang Alim (orang yang mengetahui) dalam masalah yang pertama dan bukan Alim dalam masalah yang kedua. Apabila demikian, orang semacam itu wajib menyampaikan apa yang diketahuinya yaitu mengenai masalah pertama.
Dalam masyarakat tentu didapati orang-orang yang memerlukan Guru untuk mengajarinya sholat, puasa, Haji, dan sebagian hukum-hukum Syariat yang lain. Maka barangsiapa yang mengetahui dan memahami hal itu, maka dia wajib menyampaikannya. Haram baginya menyembunyikan Ilmu yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Sesuai dengan sabda Rasul yang artinya:
“ barangsiapa yang mnyembunyikan ilmu yang diketahuinya, maka pada hari Kiamat kelak ia akan datang dalam kekadaan terkekang dengan kekang api neraka”. (HR. Ahmad).
Karena itulah, Ulama umat berdakwah dengan masing-masing Spesialisasi tugas mereka masing-masing. Baik mereka menjabat sebagai penguasa, Ilmuan, Hakim, Imam, Dai, Dokter, saudagar dan lain-lain. Mereka wajib terjun langsung ke medan dakwah ini, dengan menampilkan kepribadian muslim sejati dengan tugas-tugasnya. Menjadi teladan bagi orang lain dalam kebaikan, sehingga mereka bisa menjadi Da’i (Khotib) yang sebenarnya. Yaitu orang yang mampu menerjemahkan maksud dan semangat Islam dalam kehidupan, serta dapat memberikan miniatur kehidupan Islami yang didambakan oleh seorang Alim yang saat ini tengah dilanda peradaban materialis. Dakwah yang dibawa umat Islam kepada sluruh umat manusia adalah dakwah kasih sayang, serta kebahagiaan di dunia dan di Akhirat. Sebagaimana FirmanAllah:
Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiyaa’:107)
Agar umat Islam menerima Dakwah, Islam menyeru kepada segenap pemeluknya untuk menampilkan dakwah yang baik dan penuh hikmah:

Artinya: “Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(QS. An Nahl: 125).

c. Bentuk-Bentuk Metode Dakwah
Berdasarkan Ayat Al Qur’an Surat An Nahl di atas, maka bentuk-bentuk metode dakwah dapat dibedakan sebagai berikut:
1 . Al Hikmah
a. Pengertian Bil Hikmah
Kata Hikmah dalam Al Qur’an disebutkan sebanyak 20 kali, baik dalam bentuk nakirah ataupun ma’rifat. Bentuk masdarnya adalah “Hukman” yang apabila diartikan, maka makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum, maka berarti mecegah kedzaliman, jika dikaitkan dengan dengan dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang tidak relevan dalam melaksanakan tugas dakwah.
Munurut Al Ashma’i asal mula didirikan Hukumah (pemerintahan) ialah untuk mencegah manusia dari perbuatan zalim. Maka digunakan istilah Hikmatul Lijam karena Lijam (cambuk atau kekang kuda) itu digunakan untuk mencegah perbuatan hewan. Al Hikmah juga berarti tali kekang pada binatang adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Misbahul Munir. Diartikan demikian itu karena seorang penunggang kuda dapat mengendalikan kudanya adalah dengan adanya tali kekang. Dari kiasan ini, maka orang yang memiliki Hikmah adalah orang yang mempunyai kendali diri, sehingga dia dapat mencegah dirinya dari hal-hal kurang bernilai. MenurutAhmad Bin Munir Al Muqri’ Al Fayumi, berarti dapat mencegah dari perbuatan yang hina.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa, hikmah adalah mengetahui rahasia dan faidah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafadz akan tetapi banyak makna. Atau bisa pula diartikan meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Dalam konteks Ushul Fiqih, istilah hikmah dibahas ketika Ulama Ushul membicarakan sifat-sifat yang dijadikan ilat Hukum. Pada kalangan Tarekat, hikmah diartikan pengetahuan tentang rahasia Allah SWT.
Orang yang memiliki hikmah disebut Al Hakim, yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang utama dari segala sesuatu. Kata hikmah juga sering dikaitkan dengan filsafat. Hal itu karena filsafat juga mencari pengetahuan hakikat segala sesuatu.
Prof. DR. Toha Yahya Umar, M.A., mengatikan meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berfikir, berusaha menyusun dan mengatur dengan cara yang sesuai keadaan zaman dan tidak bertentangan dengan larangan Tuhan.
Al Hikmah diartikan pula sebagai Al ‘Adl (keadilan), haq (kebenaran), Al Hilm
(ketabahan) dan lain-lain. Al Hikmah juga dapat berarti pengetahuan yang dikembangkan dengan tepat sehingga menjadi sempurna. Menurut pendapat ini, Al Hikmah termanifestasikan kedalam empat hal: kecakapan manajerial, kecermatan, kejernihan dan ketajaman pikiran.
Sebagai metode dakwah, Al Hikmah diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, menarik perhatian orang kepada Agama atau Tuhan.
Ibnu Qoyim berpendapat, bahwa pengertian hikmah yang paling tepat adalah seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Malik yang mendefinisikan bahwa Hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya. Hal ini tidak dapat di capai kecuali seseorang dapat memahami Al Qur’an, mendalami Syariat-syariat Islam serta hakikat Iman.
Menuru Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud An Nasafi, arti hikmah, yaitu:
“dakwah dengan menggunakan perkataan yang benar dan pasti, yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menjelaskan keraguan”.
Menurut Al Kasyafnya Syeikh Zamakhsyari, Al Hikmah adalah perkataan yang pasti benar. Ia adalah dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan atau kesamaran. Selanjutnya beliau mengartikan Al Hikmah sebagai Al Qur’an, yaitu dari perkataan: ajaklah mereka manusia mengikuti kitab yang memuat hikmah.
Dari beberapa pengertian di atas, bahwa Al Hikmah adalah kemampuan Khotib dalam memilih , memilah dan menyelaraskan tehnik dakwah dengan kondisi obbjektif Mad’u. disamping itu juda Al Hikmah merupakan kemampuan Khotib dalam menjelaskan doktrin-doktrin Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu, Al Hikmah adalah sebagai sebuah system yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam dakwah.

b. Hikmah Dalam Dakwah

Dalam dunia dakwah, Hikmah adalah penentu sukses tidaknya dakwah. Dalam menentukan Mad’u yang beragam tingkat pendidikan,strata social dan latar belakang Budayanya. Para Khotib(Da’i) membutuhkan Hikmah,sehingga ajaran Islam mampu memasuki hati para Mad’u dengan tepat. Oleh karena itu para Da’i dituntut untuk lebih menngerti dan memahami sekaligus memanfaatkan latar belakangnya, sehingga ide-ide yang diterima dirasakan sebagai suatu yang menyentuh dan menyejukkan kalbu.
Ada saatnya diamnya Khotib menjadi sangat efektif dan bicaranya menjadi bencana. Tetapi di saat lain terjadi sebaliknya. Kemampuan Khotib utuk menempatkan dirinya ini juga disebut sebagai hikmah yang menentukan keberhasilan dakwah.
Khotid juga aka berhadapan dengan berbagai warna di msyarakat. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Namun dari sekian banyak perbedaan itu, sebenarnya adabanyak titik temu diantara mereka. Kepiawaian Khotib dalm mencari titik temudalam heterogenitas perbedaan adalah Hikmah.
Khotib juga akan berhadapan dengan realitas perbedaan Agama dalam masyarakat yang heterogen. Kemampuan Khotib untuk bekerjasama dalam hal-hal yang dibenarkan oleh Agama tanpa mengorbankan keyakinan yang ada pada dirinya adalah Hikmah dalam Dakwah.
Khotib yang sukses biasanya biasanya juga berangkat dari kepiawaian dalam memilih kata. Pemilihan kata juga adalah hikmah yang sangat urgen dalam dakwah. Ketika dakwah tenyata disambut dingin oleh suatu komunitas, Khotib memerlukan Hikmah bagaimana perpisahan sengan komunitas tu dapat meinggalkan kesan panjang yang membuat mereka akhirnya menerima Dakwah dikemudian hari.
Khotib tidak boleh hanya menyampaikan ajaran Agama tanpa mengamalkannya. Seharusnya Khotiblah yang pertama kali melakukan apa yang dikatakannya. Kemampuan Da’i untuk menjadi contoh umatnya dalam bertindak adalah hikmah yang seharusnya tidak boleh ditinggalkan oleh seorang Da’i. dengan amalan nyata yang dapat dilihat oleh masyarakatnya, para da’I tidak terlalu sulit untuk berbicara banyak, tapi gerak dia adalah langkah efektif dari pada sekedar bicara.
Tidak semua orang mampu meraih hikmah , sebab Allah hanya memberikannya pada pada orang yang memang layak untuk mendapatkannya. Barangsiapa yang mendapatkannya berarti dia telah mendapat hikmah besar dari Allah. Firman Allah:

Artinya: “Allah menganugerahkan al hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran .”(QS Al Baqarah: 269).
Hikmah adalah bekal Da’i untuk menuju sukses.Karunia Allah yang diberikan kepada orang yang mendapat Hikmah insyaAllah juga akan berimbas kepada para mad’unya, sehingga mereka termotivasi untuk merubah diri dan mengamalkan apa yang disarankan kepada mereka.
Hikmah merupakan suatu term tentang karakteristik metode dakwah, ayat tersebut mengisyaratkan pentingnya hikmah untuk menjadi sifat dari metode dakwah dan betapa perlunya dakwah mengikuti langkah-langkah yang mengandung hikmah. Ayat tersebut seolah-olah menunjukkan metode dakwah praktis kepada para juru dakwah yang mengandung arti mengajak manusia kepada jalan yang benar dan mangajak manusia untuk menerima dan mengikuti petunjuk agama dan aqidah yang benar. Ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa mengajak manusia kepada hakikat yang murni dan apa adanya tidak mungkin dilakukan tanpa melalui pendahulan dan pancingan atau tanpa mempertimbangkan iklim dan medan kerja ang sedang dihadapi.
Atas dasar itu maka hikmah berjalan pada metode yang realistis dalam melakukan suatu perbuatan. Maksudnya, ketika seorang Da’i akan memberikan ceramahnya pada saat tertentu haruslah memperhatikan realitas yang terjadi diluar. Baik pada tingkat intelektual, pemikiran, Psikologis maupun Sosial. Semua itu menjadi acuan yang harus dipertimbangkan.
Dengan demikian jika Hikmah dikaitkan dengan Dakwah, kita akan menemukan bahwa ia peringatan kepada juru dakwah untuk tidak menggunaka satu metode saja. Sebaliknya mereka harus menggunakan berbagai macam metode sesuai dengan realitas yang dihadapi dan sikap masyarakat terhadap Islam. Sebab sudah jelas bahwa dakwah tidak akan berhasil menjadi suatu wujud yang riil, jika metode yang dipakai untuk menghadapi orang yang bodoh sama dengan metode yang dipakai untuk menghadapi orang yang terpelajar. Karena jelas kemampuan kelompok tersebut untuk menerima apa yang disampaikan tidak dapat disamakan. Hal itu karena daya tangkap yang dimiliki oleh tiap manusia itu berbeda.
Ada sekelompok orang yang yang hanya memerlukan iklim dakwah yang penuh gairah dan berapi-api, sementara kelompok lain memerlukan iklim dakwah yang sejuk dan seimbang. Yang memberikan kesempatan kepada kaum intelek untuk berpikir dalam rangka menumbuhkan ketenangan jiwa. Pada satu kesempatan kita mempresentasikan pemikiran kita secara rinci, sedang pada kesempatan lain kita hanya membuat garis-garis besarnya saja.
Hikmah adalah pokok awal yang harus dimiliki oleh seorang da’i dalam berdakwah. Karena dari hikmah ini akan timbul kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam menerapkan langkah-langkah dakwah baik secara metodologis maupun praktis. Oleh karena itu hikmah yang memiliki multi definisi mengandung arti dan makna yang berbeda tergantung dari sisi mana melihatnya.
Dalam kontek dakwah misalnya, hikmah bukan hanya sebuah pendekatan satu metode tapi tapi beberapa pendekatan yang multi dalam sebuah metode. Dalam dunia dakwa: “hikmah bukan hanya berarti “ mengenal strata mad’u” akan tetapijuga kapan harus bicara, dan kapan harus diam. Hikmah bukan hanya mencari tiik temu,akan tetapi juga toleran tanpa kehilangan sibgah.bukan hanya dalam kontek memilh kata yang tepa, tapi juga cara berpisah. Dan akhirnya pula bahwa hikmah adalah Uswatun hasanah serta lisan Al Haal”.

1. Al Mauidhotil Hasanah
Terminologi Mauidhoh hasanah dalam perspektif dakwah sangat popular,bahkan dalam acara-acara seremonial keagamaan (dakwah dan tabligh) seperti Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj, Istilah Mauidah Hasanah mendapat porsi khusus dengan sebutan “acara yang ditunggu-tunggu”.yang merupakan inti acara dan biasanya menjadi salah satu target keberhasilan suatu acara. Namun demikian, agar tidak menjadi kesalah pahaman, makaaka dijelaskan pengertian Mauidhah hasanah.
Secara bahasa, mau’idah hasanah terdiri sari dua kata mauidah dan hasanah. Kata Mauidah berasal dari kata Wa’asza-yaidzu-Wa’dzan-‘idzatan yang berarti nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan.sementara hasanah adalah kebalikan dari sayyiah.yang artinya kebaikan lawannya kejelekan.
Adapun pengertian secara istilah ada beberapa pendapat sebagai berikut:
Ø Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an Nasafi yang dikutip oleh H. Hasanuddin adalah sebagai berikut:
“al Mau’idah hasanah” adalah perkataan –perkatan yang tidak tersrmbunyi bagi mereka,bahawa engkau memberikan nasihat dan manfaat kepada merekaatau dengan Al Qur’an”.
Ø Menurut abdul Hamid al Bilali al Mau’idah hasanah adalah salah satu Manhaj dalam Dakwah, untuk mengajak kejalan allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik
Mau’idah hasanah dapat pula diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsure bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan serta pesan-pesan positif yang bias dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia akhirat.
Dari beberapa definisi diatas, Mau’idah hasanah dapat di klasifikasikan dalam beberapa bentuk:
1) Nasihat atau petuah;
2) Bimbingan pengajaran;
3) Kisah-kisah;
4) Kabar gembira dan peringatan;
5) Wasiat (pesan-pesan positif).
Menurut K.H. Mahfudz, kata Al Hikmah berarti:
Ø Didengar orang, lebih banyak lebih baik suara panggilannya.
Ø Diturut orang, lebih banyak lebih baik maksud tujuannya, sehingga menjadi lebih besar kuantitas manusia yang kembali kejalan Tuhannya yaitu jalan Allah SWT.
Menurut pendapat Imam Abdullah bin ahmad An Nasafi, kata tersebut mengandung arti:
“Al Mau’idah Hasanah yaitu perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat bagi mereka dengan al Qur’an”.
Jadi, apabila kita telusuri dari arti-arti yang telah ada tentang Mau’idah hasanah, akan berarti kata-kata yang masuk dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan dengan penuh kelembutan. Tidak membongkar dan membeberkan kesalahan dan kejelekan orang lain sebab kelemah lembutan dalam menasihati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menundukkan hati yang liar. Ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.
2. Al Mujadalah Billati Hiya Ahsan
Dari segi etimologis atau bahasa, lafad mujadalah diambil dari kata “jadala” yang berarti “memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim, menjadi lafad “jaadala” dapat berarti berdebat , dan “mujadalah” artinya perdebatan.
Kata “jaadala” dapat juga berarti menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat ibarat menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.
Menurut Ali Al Jarisyah, dalam kitabnya adab Al Hiwar wa Al munadzarah, mengartikan bahwa “al jidal” secara bahasa dapat bermakna pula “datang untuk memilih kebenaran”. Apabila berbentuk isim “Al Jadlu” maka berarti pertentangan atau perseteruan yang tajam.
Dari segi istilah (terminologi), terdapat beberapa pengertikan kata Al Mujadalah atau Al Hiwar. Al Mujadalah (hiwar) berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan antara dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang menyebabkan lahirnya pertentangan dan permusuhan diantara keduanya. Sedangkan menurut Sayyid Mohammad Thantawi, Al Mujadalah (hiwar) adalah: suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.

c. Jarum Sejarah Munculnya Khotib
Mengajak umat manusia kepada jalan kebenaran telah ada sejak pertama kali Risalah ajaran Agama Islam disampaikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantara Malaikat jibril. Semenjak turunnya Wahyu yang memerintahkan untuk melaksanakan dakwah secara sembunyi-sembunyi, Nabi dengan taat melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah melalui Wahyu tersebut. Sampai akhirnya Allah juga memerintahkan Beliau untuk mengajak umatnya yang saat itu masih kafir dengan cara terang-terangan. Sejak saat itulah Aktivitas dakwah untuk menyebarkan Agama Islam terus berlansung sampai sekarang.
Rasulullah adalah Nabi akhir zaman yang sangat gigih dalam memperjuangkan Agama Islam. Karena itu tidaklah salah bila sosok beliau dijadikan uswah (contoh) bagi seluruh umat Islam seluruh dunia. Beliau adalah contoh nyata seorang Khotib yang segala perkataannya selalu relevan dengan apa yang beliau lakukan. Setelah wafatnya beliau, maka darah perjuangan beliau tidak lalu luntur ditelan zaman. Para Khulafaur Rasyidin yang menggantikan kedudukan beliau dalam pemerintahanjuga mewarisi sifat mulia beliau yaitu: gigih dan pantang mundur untuk tetap meyebarkan Agama Islam.
Retorika Al-Quran seperti juga gaya bahasanya yang mempunyai pengaruh besar dalam menyebarluaskan dakwah Islam yang dapat menarik orang untuk beriman kepadanya. Umar Bin Khatab pada saat emosinya sudah mulai tenang, ketika itu Fatimah membacakan awal surat Thoha. Umar tercengang mendengar keindahan susunan bahasanya yang membawakan hatinya terbuka untuk menerima ajaran Al-Quran. Akhirnya ia beriman dan masuk Islam, padahal dulunya ia dikenal sebagai orang yang paling keras menentang Islam. Dengan keIslaman Umar memberikan kekuatan baru kepada umat Islam untuk menyatakan dakwah Islam dengan cara terang-terangan.
Keindahan retorika Al-Quran dan ketepatan dalam meletakkan kata serta filsafatnya yang dalam dapat dilihat dengan jelas. Seperti dalam kisah Ashabul Kahfi, pertemuan Musa dengan Khidir dan tentang yakjut makjut. Selain itu retorika Al-Quran juga mengemukakan berbagai ilmu pengetahuan dan meningkatkan ilmu serta iman manusia. Demikianlah mukjizat Rosululloh yang berbentuk Al-Quran, tidak satupun manusia yang bisa menandinginya. Hal inilah yang membuat bangsa Arab pada saat itu menerima dan mengikuti petunjuk Nabi Muhammad. Inilah yang mempercepat berkembangnya dakwah di tengah masyarakat yang berbahasa Arab. Mereka mendengarkan bacaan Al-Quran dan jiwa mereka sangat terkesan saat mendengar seseorang membacanya, akhirnya kesadaran untuk mengikuti petunjuknya. Al-Quran adalah kitab dakwah yang selalu terpelihara sepanjang jaman dan menjadi warisan generasi ke generasi. Alloh berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami pula yang memeliharanya (QS Al Hijr:9)”.
Al-Quran mempunyai peranan baru dalam menyebar luaskan dahwah Islam karena itu ayat-ayatnya selalu dibaca dan dikaji. Bahkan dijadikan sumber segala ilmu pengetahuan.
Setiap seruan atau ajakan mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapainya harus ditempuh berbagai cara sehingga benar-benar tertanam dalam hati manusia dan menjadi aqidahnya. Karena itulah dakwah selalu disebarkan pada setiap tempat, di rumah, di sekolah, di tempat manusia berkumpul. Tujuan dakwah selamanya tidak berubah dan kesusastraan memegang peranan penting dalam menyebar luaskan dakwah Islam. Demikianlah dakwah Islam mempergunakan seni bahasa yang terkandung dalam Al-Quran sebagai alat yang ampuh dalam menyebarkan dakwah Islam, serta memperkokoh jiwa umat manusia. Al-Quran merupakan sumber kesusastraan masa sekarang dan masa lampau.
Sepeninggal para Khulafaur Rasyidin ,perjuangan untuk tetap menegakkan Agama Islam dilanjutkan oleh para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in. selain dengan dakwah billisan, juga dengan beberapa peperangan yang menghauskan umat Islam membela dan mempertahankan agamanya. Sampai pada masa keemasan Islam yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam, serta begitu pesatnya kemajuan dalam bidang Ilmu pengetahuan. Pada Masa itu dunia perjuangan Islam tetap tegar dan jaya. Di bawah prakarsa dari para ilmuwan Islam pada saat itu, seperti:Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Al Ghozali dan lainnya, Islam menjadi Agama yang terdepan dalam berbagai hal. Baik itu dalam kemajuan ilmu pengetahuannya ataupun dalam Invasi dan penyebarannya. Keberhasilan pada saat itu tentunya tidak luput dari peran para penyebar-penyebar Islam yang tangguh.
Pada masa kejayaan Bangsa Yunani, Tradisi Retorika (berkhotbah/berpidato) malah dijadikan suatu cabang bidang studi yang dianggap penting dan tidak dapat di abaikan. Hal itu karena mereka menganggap bahwa kecakapan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain dalam bentuk retorika, adalah suatu hal yang sanagt berharga untuk mencapai sukses dalam masyarakat yunani kuno. Walaupun mereka bukanlah orang orang-orang Muslim.
Ada bukti yang menunjukkan bahwa studi retorika ini berasal dari zaman sebelum Yunani dan tedapat dalam kebudayaan Mesir kuno, dengan ahli-ahli retorika seperti Kagemni dan Ptah-Hotep. Namun demikian, sistimatika pertama tentang retorika ini adalah yang dilakukan oleh Aristoteles seorang ahli Logika, filsafat dan Shophist (Guru Retorika). Sistematisasi aristoteles bertindak sebagai patokan pembanding terhadap pengulasan retorika lainnya.
Dari sinilah dapat diketahui bahwa seni berkomunikasi lewat lisan tidak hanya ditrdisikan oleh oang-orang Muslim, akan tetapi juga oleh orang non Muslim.
Apabila kembali mengingat sejarah tersebarnya Islam di pulau Jawa khususnya, maka jasa para Ulama yang menyebarkan Islam pada saat itu. Mereka adalah yang terkenal dengan sebutan wali Songo. Para Wali Songo ini menyebarkan Agama Islam di pulau jawa dengan menggunakan metode dakwah bil lisan.

d. Fungsi Dan Peran Khotib di Masyarakat

Khatib (Dai) sebagai teladan moralitas, juga dituntut lebih berkualitas dan mampu menafsirkan peasan-pesan dakawah kepada masyarakat. Sesuai dengan tuntutan pembanagunan umat, maka khotib pun hendakanya tidak hanya terfokus pada masalah-masalah Agama semata-mata. Akan tetapi mampu memberi jawaban dari tuntutan realita yang dihadapi masyarakat saat ini.
Umat Islam pada lapisan bawah, tak sanggup meghubungkan secara tepat isi dakwah yang sering didengar melalui dakwah bil lisan dengan realitas sulitnya kehidupan ekonomi sosial sehari-hari. Karena itu Khotib dituntut secara maksimal agar mampu melakukan dakwah bil hal (dalam bentuk perbuatan yang nyata). Artinya ketika masyarakat mengharapkan keadilan dan kejujuran, maka Khotib diharapkan mamapu memberikan jalan keluar yang terbaik. Dalam hal ini Khotib juga harus mampu berdakwah pada oknum yang sering mempermainkan keadilan dan kejujuranuntuk kepentingan dirinya dan kelompoknya.
Dakwah sekarang dan masa mendatang haruslah mencakup dakwah bil hikmatil hasanah, meskipun tidak perlu terlalu menerapakan keterampilan yang terlalu teknis. Ceramah-ceramah Agama idealnya adalah ceramah yang bertemakan kebutuhan nyata masyarakat.
Dakwah harus mencakup perbuatan nyata, berupa uluran si kaya kepada si miskin, pengayoman hukum, penegakan keadilan dan sebagainya. Perluasan kegiatan dakwah atau Desentralisasi yang dibarengi oleh Diversifikasi Khotib (dai), relevan dengan kebutuhan masyarakat yang juga semakin beraneka ragam karena meluasnya krisis moral.
Konsep Dakwah idealnya adalah Dakwah yang tidak menyempitkan cakrawala umat dalam emosi keagamaan dan keterpencilan sosial. Dakwah yang diperlukan adalah yang mendorong pelaksana partisipasi social. Dakwah yang demikian juga akan memenuhi tuntutan individual untuk saling menolong dalam menghadapai kesuliatan hidup sehari-hari.
Setelah Islam memasuki usia 15 abad, dakwah seolah semakin redup ditengah gemerlapnya arus modernisme dan Materialisme. Kegersangan spiritualpun semakin parah melanda umat manusia. Sehingga nafsu angkara murka semakin merajalela. Kebrutalan, kesadisan, korupsi, kolusi dan penindasan semakin memprihatinkan. Padahal sebenarnya, esensi Dakwah yang terkandung dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi tidak pernah mengenal redup dan luntur. Namun karena keangkuhan dan kealfaan manusialah yang membuat Ayat-Ayat suci yang agung itu hanya menjadi retorika yang indah.untuk mewujudkan keberhasilan Dakwah, pesan-pesan dakwah hendaklah di transformasikan dari retorika kepada realita. Dengan demikian umat yang didakwahi pun akan merasakan satunya kata dengan tindakan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa fungsi dan peran Khotib di masyarakat sangatlah urgen. Hal itu karena seorang yang yang memberikan Pendidikan agama seperti Khotib sama saja dengan seorang yang menasehati seseorang dengan nasihat yang ia ambil dari Al Qur’an dan Al Hadits. Karena itulah. Pengaplikasian terhadap hal-hal apa yang tela di ucapkannya akan menjadi sanagt penting bagai masyarakat sebagai contoh atau suri tauladan.

KESIMPULAN

Ø Seorang Khotib adalah penyampai Risalah Nabi yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadits, karena itulah seorang KHotib harus memiliki kemampuan dalan bidanga Agama dan mengatahui agama dari sumber-sumbernya yang asli. Hal itu Agar dalam menyampaikan segala Risalah Nabi, dia tidak memakukan kekeliruan yang dapat menyesatkan masyarakat dan kaum yang telah ia beri Risalah tersebut.
Ø Menjadi seorang Khotib adalah sebuah profesi yag mulia. Hal itu karena ia telah memilih jalan dakwah yang tujuannya ialah menyiarkan agama Allah kepada orang-orang yang tidak mengetahuinya. Apabila seseorang seseorang telah memilih jalan dakwah, maka dalan alqur’an telah disebutka ia termasuk Khoiro Ummah (sebaik-baik manusia. Itupun apabila ia melakukannya dengan penuh rasa tanggung jawab dan bertujuan semata-mata hany auntuk mencari Ridha dari Allah SWT.
Ø Rasulullah adalah sosok seorang Khotib yang sangat patut untuk dicontoh, karena beliau tidak akan pernah mengucapkan suatu perkataan pun tanpa adanya bimbingan dan Risalah yang datang dari Allah yang melalui Al Qur’an. Selain itu beliau tidak akan mengatakan suatu nasihat kebajikan apabila beliau sendiri belum melaksanakannya.
Ø Peran Khotib menjadi sangat urgen mengingat keadaan umat manusia khususnya masyarakat Islam yang sedang dilanda oleh dekadensi moral dan kerapuhan budi pekerti. Karena itulah praktik langsung yang dilakukan oleh seorang Khotib, dengan menerapkan ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits sangatlah urgen dan wajib untuk dilakukan. Hal itu karena, masyarakat akan lebih senang menirukan seorang yang berbuat baik setelah orang yang itu juga memberi contoh dan melakukannya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Ø An Nahlawi, Abdurrahman. 1983. Pendidikan Islam di Rumah, di sekolah dan Masyarakat. Jakrta: Gema Insani Press.
Ø Daulay, Hamdan. 2001. Makna Dakwah Dewasa Ini, Jogjakarta: Lesfi.
Ø Fadhlullah, Husain Muhammad. 1997. Metodologi Dakwah Dalam Al Qur’an, Jakarta: Lentera.
Ø Halim Mahmud, Ali Abdul. 1995. Dakwah Fardhiyah, Jakarta:Gema Insani Press.
Ø Hefni, Harjani Dkk. 2003 Metode Dakwah, Jakrta: kencana.
Ø Hasan Raqith, Hamad. 2001. Meraih Sukses Perjuangan Da’i, Jogjakarta: Mitra Pustaka.
Ø Musthafa Atha, Muhammad. 1982. Sejarah Dakwah Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu.
Ø Rahmat, Jalaludin. 1978. Teori-Teori komunikasi, Jakarta : Remaja karya.