Sabtu, 16 Agustus 2008

PERANAN KHOTIB DALAM MENDIDIK MASYARAKAT

PERANAN KHOTIB DALAM MENDIDIK MASYARAKAT

1. LATAR BELAKANG

Dalam pendidikan terdapat beberapa komponen penting yang tidak bisa dinafikan keberadaannya. Komponen itu adalah pendidik, peserta didik, alat pendidikan dan tujuan pendidikan. Kelima komponen tersebut saling mendukung terwujudnya pendidikan yang baik dan ideal. Dalam Paper ini akan dibahas tentang peran Khotib (Penceramah) sebagai salah satu komponen pendidik dalam masyarakat.
Khotib adalah seorang yang berperan penting dalam mendidik masyarakat, disamping para Guru dan tenaga pendidik lainnya. Peran Khotib menjadi sangat urgen mengingat kondisi masyarakat yang sedang mengalami dekadensi moral dan pengikisan nilai-nilai Budaya luhur yang ada di dalam masyarakat.
Sebagai salah satu komponen pendidik, fungsi Khotib di masyarakat memiliki esensi yang sangat dalam, yaitu sebagai seorang yang mendakwahkan Risalah ajaran Agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Selain itu seorang Khotib adalah sosok yang patut untuk dijadikan contoh (suri tauladan) yang baik.

2. PENGERTIAN KHOTIB

Apabila ditinjau dari etimologisnya, Kata Khotib berasal dari bahasa Arab “Khotibun” yang berarti orang yang berkhotbah (orang yang memberikan ceramah tentang Agama Islam). Dalam Term lain juga ditemukan kata Da’i yang artinya orang yang mengajak kepada jalan kebenaran (Islam) dan Muballigh yang berarti orang yang menyampaikan. Perbedaan kata antara Khotib, Da’i dan Muballigh ini pada dasarnya hanya terletak pada lafdziahnya (kata) saja. Sedangkan menurut prakteknya , baik Khotib, Da’i maupun Muballigh adalah sama-sama Seorang penyambung lidah Nabi dan para Auliya’. Mereka menyampaikan risalah-risalah Agama Islam yang ada dalam Al Qur’an dan Hadits, serta mengambil suri tauladan yang baik dari para Nabi dan para sahabatnya.
Dalam proses penyampaian Risalah Nabi kepada seluruh khalayak ramai (masyarakat) Khotib menggunakan sebuah media yang bernama Dakwah. Dakwah adalah media yang sanagt efektif untuk membantu penyebaran Agama Islam, serta membimbing umat manusia dari kesesatan yang nyata menuju sebuah titik terang yang disebut “Islam”.

a. Pengertian Dakwah
Ditinjau dari segi etimologis (bahasa) nya, kata Dakwah mencakup segala kegiatan (aktivitas) amar ma’ruf nahi munkar. Yaitu segala aktifitas yang dilakukan seseorang dengan tujuan mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Makna ini tidak menunjukkan makna Dakwah secara luas.
Adapun amar ma’ruf nahi munkar adalah: upaya internal untuk mengikuti Islam oleh kaum Muslim sendiri. Hal itu bertujuan agar umat Islam tetap dapat menempuh jalan Agama Islam dan tidak menyimpang dari jalan yang lurus.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tugas para pelaku amar ma’ruf nahi mungkar adalah sebagai penjaga Syariat dan pelindung Undang-undang. Sedangkan tugas para juru dakwah hidup di pos-pos “pencidukan”. Sasaran mereka adalah orang-orang non Muslim yang sedang bingung tersesat dan gelisah.
Mohammad Nasir dalam buku fiqhud Dakwah, mengaatakan bahwa ada tiga metode dakwah yang sangat relevan disampaikan di tengah masyarakat. Yaitu dakwah bil lisan, dakwah bil kalam dan dakwah bil hal. Dalam prakteknya dewasa ini, baru Dakwah bil lisan (dakwah dengan menggunakan lisan) yang sering dilakukan. Sementara Dakwah bil Kalam dan bil hal (dakwah dengan perbuatan) masih jauh dari harapan. Itulah sebabanya kualitas Dakwah hingga kini masih memprihatinkan.
Dakwah bil lisan selalu didentikkan dengan penggunaan lisan sebagai media. Dakwah bil lisan ini biasa disebut dengan pidato. Pidato dalam Islam dipandang sebagai salah satu model dakwah dan tabligh melalui kemampuan lisan. Model ini mempunyai pengaruh yang luar biasa dan telah dilakukan oleh para Nabi dan para Khotib dari generasi kegenarasi. Menjadi seorang Khotib merupakan suatu suatu tugas yang mulia. Dalam salah satu sabda-Nya, Rasulullah SAW pernah menyatakan:
نضر الله أمرأ سمع منا حد يثا فحفظه حتى يبلغه غيره

Artinya: “Allah menjadikan bagus, seseorang yang mendengar Hadits dari kami, lantas dia menghafalnya sampai kemuadian ia sampaikan kepada orang lain”.

Khotib (orang yang ahli pidato) dalah orang yang memiliki perasaan yang halus dan dalam. Selain itu ia juga memiliki semangat intuk mendorong orang lain dalam berbuat kebajikan. Seorang Khotib memilki pemikiran yang dalam dan lus serta memiliki keistemewaan dalam menyampaikan penjelasan, argumentasi dan lai-lain. Seni berpidato, dalam tataran prakteknya ada bermacam-macam diantaranya: pidato Khotbah jum’ah, Khotbah idul Fitri dan Idul adha, Khotbah memompa semangat berjihad, Khutbah dalam berbagai acara perayaan, Khotbah Amar ma’ruf nahi Munkar, Khotbah wasiat, Khotbah Nikah dan lain-lain.
Agar seorang Khotib dapat sukses dalam pidatonya, dakwahnya dapat diterima oleh para pendengar, baik dalam penyampaian dan kuat dalam berargumen, maka seorang Khotib hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Ø Mempersaksikan masalah yang sedang dibahasnya dengan ayat-ayat Al Qur’an, Hadits-hadits Nabi dan praktik kehidupan Rasulullah dan para sahabat yang mulia.
Ø Memperkuat Dakwahnya dengan kisah-kisah yang ada dalam Al qur’an dan As Sunnah. Apabila kisah-kisah itu masih terkesan abstrak, maka ia harus berusaha mendeskripsikan dengan hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indera.
Ø Seorang khotib hendaklah tidak berpanjang-panjang dalam pidatonya. Hal itu karena Islam sangat menentang segala sesuatu yang bersifat berlebihan, termasuk juga dalam berpidato. Kecuali apabila kondisi yang memaksa untuk berbuat demikian. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“sesungguhnya panjangnya sholat seseorang dan pendeknya Khotbah yang ia sampaikan adalah tanda dari kepahamannya. Maka panjangkanlah Sholat kalian dan pendekkanlah Khotbah kalian.dan sesunggunya di dalam penjelasan yang panjang itu terdapar tipu daya”.

Ø Seorang khotib jangan teralu sering menyampaikan podatonya terhadap orang yang sama, agar mereka tidak merasa jemu.
Ø Hendaklah pembicaraan Khotib jelas dan dalam taraf yang sedang, mengingat kondisi, kefahaman dan daya nalar seseorang yang sanagat beragam. Dalam hal ini Khotib yang mampu “berdialog” dengan masyarakat sesuai dengan kemampuan nalar mereka.
Ø Seorang Khotib harus menghindari pembicaraan yang dibuat-buat atau difasih-fasihkan.
Ø Seorang Khotib hendaknya menyampaikan hal-hal yang diperlukan oleh pendengarnya. Selain itu cara penyampainya haruslah bervariasi (tidak monoton), disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu.


b. Landasan Para Khotib Memilih Jalan Dakwah
Dakwah ibarat lentera kehidupan yang memberikan cahaya, serta menerangi kehidupan manusia dari nestapa kegelapan. Pada saat manusia dilanda kegersanagan spiritual, dengan rapuhnya akhlak. Umat Islam adalah umat pendakwah yang memiliki risalah dari para Nabi. Dakwah adalah tugas mulia yang dibebankan oleh Allah kepada setiap orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana firman Allah yang termaktub dalam Al Qur’an surat Yusuf ayat 108:
Artinya: Katakanlah: "Inilah jalan ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (Q.S Yusuf: 108)

Dengan demikian setiap orang yang mengaku mengikuti Rasulullah SAW dituntut untuk menebar dakwah menuju Allah dengan penuh kesadaran dan keyakinan. Sebagaimana yang dijalankan Rasulullah SAW. Allah menegaskan kembali kepada umat Muhammad akan tugas mulia ini dengan firman-Nya:

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka lah orang-orang yang beruntung”.
Dalam Tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Hendaknya ada sekelompok dari umat Islam yang secara khusus mengemban tugas ini, sekalipun kewajiban dakwah berlaku bagi setiap individu Muslim.”
Apabila umat ini telah mejalankan dakwah dengan menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, maka mereka pantas untuk menyandang gelar “Khairu ummah”(umat yang terbaik) yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an:


Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran:110).

Apabila dakwah wajib atas setiap individu Muslim, maka itu berarti tugas ini tidak hanya dijalani oleh para Ulama saja. Akan tetapi golongan Ulama adalah orang yang paling berkompetensi secara khusus terhadap detail-detail dakwah dan hokum-hukum Syari’ah. Mereka itulah yang berada di barisan depan sekaligus panutan bagi dakwah di jalan Allah. Namun demikian, pada prinsipnya setiap idividu muslim tetap berkewajiban menyeru kejalan allah dengan apa saja yang mereka ketahui, mengingat sabda Nabi:
بلغواعني ولوأيةَ
Artinya: “ Sampaikanlah dari ku walau hanya satu ayat”. (HR. Bukhori).

Apabila Al-Bashirah (keyakinan dan pengetahuan yang dalam) termasuk sederetan syarat pelaksana Dakwah, maka syarat ini tidak dapat dipahami secara mutlak mengingat pengetahuan (ilmu) bukanlah suatu yang tunggal yang tak terbagi. Ilmu secara alamiah memang terbagi dalam berbagai cabang. Jadi, seseorang yang mengetahui dan memahami suatu masalah, sangat mungkin dia tidak mengetahui masalah yang lain. Dengan demikian dia dikatakan orang yang Alim (orang yang mengetahui) dalam masalah yang pertama dan bukan Alim dalam masalah yang kedua. Apabila demikian, orang semacam itu wajib menyampaikan apa yang diketahuinya yaitu mengenai masalah pertama.
Dalam masyarakat tentu didapati orang-orang yang memerlukan Guru untuk mengajarinya sholat, puasa, Haji, dan sebagian hukum-hukum Syariat yang lain. Maka barangsiapa yang mengetahui dan memahami hal itu, maka dia wajib menyampaikannya. Haram baginya menyembunyikan Ilmu yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Sesuai dengan sabda Rasul yang artinya:
“ barangsiapa yang mnyembunyikan ilmu yang diketahuinya, maka pada hari Kiamat kelak ia akan datang dalam kekadaan terkekang dengan kekang api neraka”. (HR. Ahmad).
Karena itulah, Ulama umat berdakwah dengan masing-masing Spesialisasi tugas mereka masing-masing. Baik mereka menjabat sebagai penguasa, Ilmuan, Hakim, Imam, Dai, Dokter, saudagar dan lain-lain. Mereka wajib terjun langsung ke medan dakwah ini, dengan menampilkan kepribadian muslim sejati dengan tugas-tugasnya. Menjadi teladan bagi orang lain dalam kebaikan, sehingga mereka bisa menjadi Da’i (Khotib) yang sebenarnya. Yaitu orang yang mampu menerjemahkan maksud dan semangat Islam dalam kehidupan, serta dapat memberikan miniatur kehidupan Islami yang didambakan oleh seorang Alim yang saat ini tengah dilanda peradaban materialis. Dakwah yang dibawa umat Islam kepada sluruh umat manusia adalah dakwah kasih sayang, serta kebahagiaan di dunia dan di Akhirat. Sebagaimana FirmanAllah:
Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiyaa’:107)
Agar umat Islam menerima Dakwah, Islam menyeru kepada segenap pemeluknya untuk menampilkan dakwah yang baik dan penuh hikmah:

Artinya: “Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(QS. An Nahl: 125).

c. Bentuk-Bentuk Metode Dakwah
Berdasarkan Ayat Al Qur’an Surat An Nahl di atas, maka bentuk-bentuk metode dakwah dapat dibedakan sebagai berikut:
1 . Al Hikmah
a. Pengertian Bil Hikmah
Kata Hikmah dalam Al Qur’an disebutkan sebanyak 20 kali, baik dalam bentuk nakirah ataupun ma’rifat. Bentuk masdarnya adalah “Hukman” yang apabila diartikan, maka makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum, maka berarti mecegah kedzaliman, jika dikaitkan dengan dengan dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang tidak relevan dalam melaksanakan tugas dakwah.
Munurut Al Ashma’i asal mula didirikan Hukumah (pemerintahan) ialah untuk mencegah manusia dari perbuatan zalim. Maka digunakan istilah Hikmatul Lijam karena Lijam (cambuk atau kekang kuda) itu digunakan untuk mencegah perbuatan hewan. Al Hikmah juga berarti tali kekang pada binatang adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Misbahul Munir. Diartikan demikian itu karena seorang penunggang kuda dapat mengendalikan kudanya adalah dengan adanya tali kekang. Dari kiasan ini, maka orang yang memiliki Hikmah adalah orang yang mempunyai kendali diri, sehingga dia dapat mencegah dirinya dari hal-hal kurang bernilai. MenurutAhmad Bin Munir Al Muqri’ Al Fayumi, berarti dapat mencegah dari perbuatan yang hina.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa, hikmah adalah mengetahui rahasia dan faidah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafadz akan tetapi banyak makna. Atau bisa pula diartikan meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Dalam konteks Ushul Fiqih, istilah hikmah dibahas ketika Ulama Ushul membicarakan sifat-sifat yang dijadikan ilat Hukum. Pada kalangan Tarekat, hikmah diartikan pengetahuan tentang rahasia Allah SWT.
Orang yang memiliki hikmah disebut Al Hakim, yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang utama dari segala sesuatu. Kata hikmah juga sering dikaitkan dengan filsafat. Hal itu karena filsafat juga mencari pengetahuan hakikat segala sesuatu.
Prof. DR. Toha Yahya Umar, M.A., mengatikan meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berfikir, berusaha menyusun dan mengatur dengan cara yang sesuai keadaan zaman dan tidak bertentangan dengan larangan Tuhan.
Al Hikmah diartikan pula sebagai Al ‘Adl (keadilan), haq (kebenaran), Al Hilm
(ketabahan) dan lain-lain. Al Hikmah juga dapat berarti pengetahuan yang dikembangkan dengan tepat sehingga menjadi sempurna. Menurut pendapat ini, Al Hikmah termanifestasikan kedalam empat hal: kecakapan manajerial, kecermatan, kejernihan dan ketajaman pikiran.
Sebagai metode dakwah, Al Hikmah diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, menarik perhatian orang kepada Agama atau Tuhan.
Ibnu Qoyim berpendapat, bahwa pengertian hikmah yang paling tepat adalah seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Malik yang mendefinisikan bahwa Hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya. Hal ini tidak dapat di capai kecuali seseorang dapat memahami Al Qur’an, mendalami Syariat-syariat Islam serta hakikat Iman.
Menuru Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud An Nasafi, arti hikmah, yaitu:
“dakwah dengan menggunakan perkataan yang benar dan pasti, yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menjelaskan keraguan”.
Menurut Al Kasyafnya Syeikh Zamakhsyari, Al Hikmah adalah perkataan yang pasti benar. Ia adalah dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan atau kesamaran. Selanjutnya beliau mengartikan Al Hikmah sebagai Al Qur’an, yaitu dari perkataan: ajaklah mereka manusia mengikuti kitab yang memuat hikmah.
Dari beberapa pengertian di atas, bahwa Al Hikmah adalah kemampuan Khotib dalam memilih , memilah dan menyelaraskan tehnik dakwah dengan kondisi obbjektif Mad’u. disamping itu juda Al Hikmah merupakan kemampuan Khotib dalam menjelaskan doktrin-doktrin Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu, Al Hikmah adalah sebagai sebuah system yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam dakwah.

b. Hikmah Dalam Dakwah

Dalam dunia dakwah, Hikmah adalah penentu sukses tidaknya dakwah. Dalam menentukan Mad’u yang beragam tingkat pendidikan,strata social dan latar belakang Budayanya. Para Khotib(Da’i) membutuhkan Hikmah,sehingga ajaran Islam mampu memasuki hati para Mad’u dengan tepat. Oleh karena itu para Da’i dituntut untuk lebih menngerti dan memahami sekaligus memanfaatkan latar belakangnya, sehingga ide-ide yang diterima dirasakan sebagai suatu yang menyentuh dan menyejukkan kalbu.
Ada saatnya diamnya Khotib menjadi sangat efektif dan bicaranya menjadi bencana. Tetapi di saat lain terjadi sebaliknya. Kemampuan Khotib utuk menempatkan dirinya ini juga disebut sebagai hikmah yang menentukan keberhasilan dakwah.
Khotid juga aka berhadapan dengan berbagai warna di msyarakat. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Namun dari sekian banyak perbedaan itu, sebenarnya adabanyak titik temu diantara mereka. Kepiawaian Khotib dalm mencari titik temudalam heterogenitas perbedaan adalah Hikmah.
Khotib juga akan berhadapan dengan realitas perbedaan Agama dalam masyarakat yang heterogen. Kemampuan Khotib untuk bekerjasama dalam hal-hal yang dibenarkan oleh Agama tanpa mengorbankan keyakinan yang ada pada dirinya adalah Hikmah dalam Dakwah.
Khotib yang sukses biasanya biasanya juga berangkat dari kepiawaian dalam memilih kata. Pemilihan kata juga adalah hikmah yang sangat urgen dalam dakwah. Ketika dakwah tenyata disambut dingin oleh suatu komunitas, Khotib memerlukan Hikmah bagaimana perpisahan sengan komunitas tu dapat meinggalkan kesan panjang yang membuat mereka akhirnya menerima Dakwah dikemudian hari.
Khotib tidak boleh hanya menyampaikan ajaran Agama tanpa mengamalkannya. Seharusnya Khotiblah yang pertama kali melakukan apa yang dikatakannya. Kemampuan Da’i untuk menjadi contoh umatnya dalam bertindak adalah hikmah yang seharusnya tidak boleh ditinggalkan oleh seorang Da’i. dengan amalan nyata yang dapat dilihat oleh masyarakatnya, para da’I tidak terlalu sulit untuk berbicara banyak, tapi gerak dia adalah langkah efektif dari pada sekedar bicara.
Tidak semua orang mampu meraih hikmah , sebab Allah hanya memberikannya pada pada orang yang memang layak untuk mendapatkannya. Barangsiapa yang mendapatkannya berarti dia telah mendapat hikmah besar dari Allah. Firman Allah:

Artinya: “Allah menganugerahkan al hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran .”(QS Al Baqarah: 269).
Hikmah adalah bekal Da’i untuk menuju sukses.Karunia Allah yang diberikan kepada orang yang mendapat Hikmah insyaAllah juga akan berimbas kepada para mad’unya, sehingga mereka termotivasi untuk merubah diri dan mengamalkan apa yang disarankan kepada mereka.
Hikmah merupakan suatu term tentang karakteristik metode dakwah, ayat tersebut mengisyaratkan pentingnya hikmah untuk menjadi sifat dari metode dakwah dan betapa perlunya dakwah mengikuti langkah-langkah yang mengandung hikmah. Ayat tersebut seolah-olah menunjukkan metode dakwah praktis kepada para juru dakwah yang mengandung arti mengajak manusia kepada jalan yang benar dan mangajak manusia untuk menerima dan mengikuti petunjuk agama dan aqidah yang benar. Ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa mengajak manusia kepada hakikat yang murni dan apa adanya tidak mungkin dilakukan tanpa melalui pendahulan dan pancingan atau tanpa mempertimbangkan iklim dan medan kerja ang sedang dihadapi.
Atas dasar itu maka hikmah berjalan pada metode yang realistis dalam melakukan suatu perbuatan. Maksudnya, ketika seorang Da’i akan memberikan ceramahnya pada saat tertentu haruslah memperhatikan realitas yang terjadi diluar. Baik pada tingkat intelektual, pemikiran, Psikologis maupun Sosial. Semua itu menjadi acuan yang harus dipertimbangkan.
Dengan demikian jika Hikmah dikaitkan dengan Dakwah, kita akan menemukan bahwa ia peringatan kepada juru dakwah untuk tidak menggunaka satu metode saja. Sebaliknya mereka harus menggunakan berbagai macam metode sesuai dengan realitas yang dihadapi dan sikap masyarakat terhadap Islam. Sebab sudah jelas bahwa dakwah tidak akan berhasil menjadi suatu wujud yang riil, jika metode yang dipakai untuk menghadapi orang yang bodoh sama dengan metode yang dipakai untuk menghadapi orang yang terpelajar. Karena jelas kemampuan kelompok tersebut untuk menerima apa yang disampaikan tidak dapat disamakan. Hal itu karena daya tangkap yang dimiliki oleh tiap manusia itu berbeda.
Ada sekelompok orang yang yang hanya memerlukan iklim dakwah yang penuh gairah dan berapi-api, sementara kelompok lain memerlukan iklim dakwah yang sejuk dan seimbang. Yang memberikan kesempatan kepada kaum intelek untuk berpikir dalam rangka menumbuhkan ketenangan jiwa. Pada satu kesempatan kita mempresentasikan pemikiran kita secara rinci, sedang pada kesempatan lain kita hanya membuat garis-garis besarnya saja.
Hikmah adalah pokok awal yang harus dimiliki oleh seorang da’i dalam berdakwah. Karena dari hikmah ini akan timbul kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam menerapkan langkah-langkah dakwah baik secara metodologis maupun praktis. Oleh karena itu hikmah yang memiliki multi definisi mengandung arti dan makna yang berbeda tergantung dari sisi mana melihatnya.
Dalam kontek dakwah misalnya, hikmah bukan hanya sebuah pendekatan satu metode tapi tapi beberapa pendekatan yang multi dalam sebuah metode. Dalam dunia dakwa: “hikmah bukan hanya berarti “ mengenal strata mad’u” akan tetapijuga kapan harus bicara, dan kapan harus diam. Hikmah bukan hanya mencari tiik temu,akan tetapi juga toleran tanpa kehilangan sibgah.bukan hanya dalam kontek memilh kata yang tepa, tapi juga cara berpisah. Dan akhirnya pula bahwa hikmah adalah Uswatun hasanah serta lisan Al Haal”.

1. Al Mauidhotil Hasanah
Terminologi Mauidhoh hasanah dalam perspektif dakwah sangat popular,bahkan dalam acara-acara seremonial keagamaan (dakwah dan tabligh) seperti Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj, Istilah Mauidah Hasanah mendapat porsi khusus dengan sebutan “acara yang ditunggu-tunggu”.yang merupakan inti acara dan biasanya menjadi salah satu target keberhasilan suatu acara. Namun demikian, agar tidak menjadi kesalah pahaman, makaaka dijelaskan pengertian Mauidhah hasanah.
Secara bahasa, mau’idah hasanah terdiri sari dua kata mauidah dan hasanah. Kata Mauidah berasal dari kata Wa’asza-yaidzu-Wa’dzan-‘idzatan yang berarti nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan.sementara hasanah adalah kebalikan dari sayyiah.yang artinya kebaikan lawannya kejelekan.
Adapun pengertian secara istilah ada beberapa pendapat sebagai berikut:
Ø Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an Nasafi yang dikutip oleh H. Hasanuddin adalah sebagai berikut:
“al Mau’idah hasanah” adalah perkataan –perkatan yang tidak tersrmbunyi bagi mereka,bahawa engkau memberikan nasihat dan manfaat kepada merekaatau dengan Al Qur’an”.
Ø Menurut abdul Hamid al Bilali al Mau’idah hasanah adalah salah satu Manhaj dalam Dakwah, untuk mengajak kejalan allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik
Mau’idah hasanah dapat pula diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsure bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan serta pesan-pesan positif yang bias dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia akhirat.
Dari beberapa definisi diatas, Mau’idah hasanah dapat di klasifikasikan dalam beberapa bentuk:
1) Nasihat atau petuah;
2) Bimbingan pengajaran;
3) Kisah-kisah;
4) Kabar gembira dan peringatan;
5) Wasiat (pesan-pesan positif).
Menurut K.H. Mahfudz, kata Al Hikmah berarti:
Ø Didengar orang, lebih banyak lebih baik suara panggilannya.
Ø Diturut orang, lebih banyak lebih baik maksud tujuannya, sehingga menjadi lebih besar kuantitas manusia yang kembali kejalan Tuhannya yaitu jalan Allah SWT.
Menurut pendapat Imam Abdullah bin ahmad An Nasafi, kata tersebut mengandung arti:
“Al Mau’idah Hasanah yaitu perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat bagi mereka dengan al Qur’an”.
Jadi, apabila kita telusuri dari arti-arti yang telah ada tentang Mau’idah hasanah, akan berarti kata-kata yang masuk dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan dengan penuh kelembutan. Tidak membongkar dan membeberkan kesalahan dan kejelekan orang lain sebab kelemah lembutan dalam menasihati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menundukkan hati yang liar. Ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.
2. Al Mujadalah Billati Hiya Ahsan
Dari segi etimologis atau bahasa, lafad mujadalah diambil dari kata “jadala” yang berarti “memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim, menjadi lafad “jaadala” dapat berarti berdebat , dan “mujadalah” artinya perdebatan.
Kata “jaadala” dapat juga berarti menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat ibarat menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.
Menurut Ali Al Jarisyah, dalam kitabnya adab Al Hiwar wa Al munadzarah, mengartikan bahwa “al jidal” secara bahasa dapat bermakna pula “datang untuk memilih kebenaran”. Apabila berbentuk isim “Al Jadlu” maka berarti pertentangan atau perseteruan yang tajam.
Dari segi istilah (terminologi), terdapat beberapa pengertikan kata Al Mujadalah atau Al Hiwar. Al Mujadalah (hiwar) berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan antara dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang menyebabkan lahirnya pertentangan dan permusuhan diantara keduanya. Sedangkan menurut Sayyid Mohammad Thantawi, Al Mujadalah (hiwar) adalah: suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.

c. Jarum Sejarah Munculnya Khotib
Mengajak umat manusia kepada jalan kebenaran telah ada sejak pertama kali Risalah ajaran Agama Islam disampaikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantara Malaikat jibril. Semenjak turunnya Wahyu yang memerintahkan untuk melaksanakan dakwah secara sembunyi-sembunyi, Nabi dengan taat melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah melalui Wahyu tersebut. Sampai akhirnya Allah juga memerintahkan Beliau untuk mengajak umatnya yang saat itu masih kafir dengan cara terang-terangan. Sejak saat itulah Aktivitas dakwah untuk menyebarkan Agama Islam terus berlansung sampai sekarang.
Rasulullah adalah Nabi akhir zaman yang sangat gigih dalam memperjuangkan Agama Islam. Karena itu tidaklah salah bila sosok beliau dijadikan uswah (contoh) bagi seluruh umat Islam seluruh dunia. Beliau adalah contoh nyata seorang Khotib yang segala perkataannya selalu relevan dengan apa yang beliau lakukan. Setelah wafatnya beliau, maka darah perjuangan beliau tidak lalu luntur ditelan zaman. Para Khulafaur Rasyidin yang menggantikan kedudukan beliau dalam pemerintahanjuga mewarisi sifat mulia beliau yaitu: gigih dan pantang mundur untuk tetap meyebarkan Agama Islam.
Retorika Al-Quran seperti juga gaya bahasanya yang mempunyai pengaruh besar dalam menyebarluaskan dakwah Islam yang dapat menarik orang untuk beriman kepadanya. Umar Bin Khatab pada saat emosinya sudah mulai tenang, ketika itu Fatimah membacakan awal surat Thoha. Umar tercengang mendengar keindahan susunan bahasanya yang membawakan hatinya terbuka untuk menerima ajaran Al-Quran. Akhirnya ia beriman dan masuk Islam, padahal dulunya ia dikenal sebagai orang yang paling keras menentang Islam. Dengan keIslaman Umar memberikan kekuatan baru kepada umat Islam untuk menyatakan dakwah Islam dengan cara terang-terangan.
Keindahan retorika Al-Quran dan ketepatan dalam meletakkan kata serta filsafatnya yang dalam dapat dilihat dengan jelas. Seperti dalam kisah Ashabul Kahfi, pertemuan Musa dengan Khidir dan tentang yakjut makjut. Selain itu retorika Al-Quran juga mengemukakan berbagai ilmu pengetahuan dan meningkatkan ilmu serta iman manusia. Demikianlah mukjizat Rosululloh yang berbentuk Al-Quran, tidak satupun manusia yang bisa menandinginya. Hal inilah yang membuat bangsa Arab pada saat itu menerima dan mengikuti petunjuk Nabi Muhammad. Inilah yang mempercepat berkembangnya dakwah di tengah masyarakat yang berbahasa Arab. Mereka mendengarkan bacaan Al-Quran dan jiwa mereka sangat terkesan saat mendengar seseorang membacanya, akhirnya kesadaran untuk mengikuti petunjuknya. Al-Quran adalah kitab dakwah yang selalu terpelihara sepanjang jaman dan menjadi warisan generasi ke generasi. Alloh berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami pula yang memeliharanya (QS Al Hijr:9)”.
Al-Quran mempunyai peranan baru dalam menyebar luaskan dahwah Islam karena itu ayat-ayatnya selalu dibaca dan dikaji. Bahkan dijadikan sumber segala ilmu pengetahuan.
Setiap seruan atau ajakan mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapainya harus ditempuh berbagai cara sehingga benar-benar tertanam dalam hati manusia dan menjadi aqidahnya. Karena itulah dakwah selalu disebarkan pada setiap tempat, di rumah, di sekolah, di tempat manusia berkumpul. Tujuan dakwah selamanya tidak berubah dan kesusastraan memegang peranan penting dalam menyebar luaskan dakwah Islam. Demikianlah dakwah Islam mempergunakan seni bahasa yang terkandung dalam Al-Quran sebagai alat yang ampuh dalam menyebarkan dakwah Islam, serta memperkokoh jiwa umat manusia. Al-Quran merupakan sumber kesusastraan masa sekarang dan masa lampau.
Sepeninggal para Khulafaur Rasyidin ,perjuangan untuk tetap menegakkan Agama Islam dilanjutkan oleh para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in. selain dengan dakwah billisan, juga dengan beberapa peperangan yang menghauskan umat Islam membela dan mempertahankan agamanya. Sampai pada masa keemasan Islam yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam, serta begitu pesatnya kemajuan dalam bidang Ilmu pengetahuan. Pada Masa itu dunia perjuangan Islam tetap tegar dan jaya. Di bawah prakarsa dari para ilmuwan Islam pada saat itu, seperti:Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Al Ghozali dan lainnya, Islam menjadi Agama yang terdepan dalam berbagai hal. Baik itu dalam kemajuan ilmu pengetahuannya ataupun dalam Invasi dan penyebarannya. Keberhasilan pada saat itu tentunya tidak luput dari peran para penyebar-penyebar Islam yang tangguh.
Pada masa kejayaan Bangsa Yunani, Tradisi Retorika (berkhotbah/berpidato) malah dijadikan suatu cabang bidang studi yang dianggap penting dan tidak dapat di abaikan. Hal itu karena mereka menganggap bahwa kecakapan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain dalam bentuk retorika, adalah suatu hal yang sanagt berharga untuk mencapai sukses dalam masyarakat yunani kuno. Walaupun mereka bukanlah orang orang-orang Muslim.
Ada bukti yang menunjukkan bahwa studi retorika ini berasal dari zaman sebelum Yunani dan tedapat dalam kebudayaan Mesir kuno, dengan ahli-ahli retorika seperti Kagemni dan Ptah-Hotep. Namun demikian, sistimatika pertama tentang retorika ini adalah yang dilakukan oleh Aristoteles seorang ahli Logika, filsafat dan Shophist (Guru Retorika). Sistematisasi aristoteles bertindak sebagai patokan pembanding terhadap pengulasan retorika lainnya.
Dari sinilah dapat diketahui bahwa seni berkomunikasi lewat lisan tidak hanya ditrdisikan oleh oang-orang Muslim, akan tetapi juga oleh orang non Muslim.
Apabila kembali mengingat sejarah tersebarnya Islam di pulau Jawa khususnya, maka jasa para Ulama yang menyebarkan Islam pada saat itu. Mereka adalah yang terkenal dengan sebutan wali Songo. Para Wali Songo ini menyebarkan Agama Islam di pulau jawa dengan menggunakan metode dakwah bil lisan.

d. Fungsi Dan Peran Khotib di Masyarakat

Khatib (Dai) sebagai teladan moralitas, juga dituntut lebih berkualitas dan mampu menafsirkan peasan-pesan dakawah kepada masyarakat. Sesuai dengan tuntutan pembanagunan umat, maka khotib pun hendakanya tidak hanya terfokus pada masalah-masalah Agama semata-mata. Akan tetapi mampu memberi jawaban dari tuntutan realita yang dihadapi masyarakat saat ini.
Umat Islam pada lapisan bawah, tak sanggup meghubungkan secara tepat isi dakwah yang sering didengar melalui dakwah bil lisan dengan realitas sulitnya kehidupan ekonomi sosial sehari-hari. Karena itu Khotib dituntut secara maksimal agar mampu melakukan dakwah bil hal (dalam bentuk perbuatan yang nyata). Artinya ketika masyarakat mengharapkan keadilan dan kejujuran, maka Khotib diharapkan mamapu memberikan jalan keluar yang terbaik. Dalam hal ini Khotib juga harus mampu berdakwah pada oknum yang sering mempermainkan keadilan dan kejujuranuntuk kepentingan dirinya dan kelompoknya.
Dakwah sekarang dan masa mendatang haruslah mencakup dakwah bil hikmatil hasanah, meskipun tidak perlu terlalu menerapakan keterampilan yang terlalu teknis. Ceramah-ceramah Agama idealnya adalah ceramah yang bertemakan kebutuhan nyata masyarakat.
Dakwah harus mencakup perbuatan nyata, berupa uluran si kaya kepada si miskin, pengayoman hukum, penegakan keadilan dan sebagainya. Perluasan kegiatan dakwah atau Desentralisasi yang dibarengi oleh Diversifikasi Khotib (dai), relevan dengan kebutuhan masyarakat yang juga semakin beraneka ragam karena meluasnya krisis moral.
Konsep Dakwah idealnya adalah Dakwah yang tidak menyempitkan cakrawala umat dalam emosi keagamaan dan keterpencilan sosial. Dakwah yang diperlukan adalah yang mendorong pelaksana partisipasi social. Dakwah yang demikian juga akan memenuhi tuntutan individual untuk saling menolong dalam menghadapai kesuliatan hidup sehari-hari.
Setelah Islam memasuki usia 15 abad, dakwah seolah semakin redup ditengah gemerlapnya arus modernisme dan Materialisme. Kegersangan spiritualpun semakin parah melanda umat manusia. Sehingga nafsu angkara murka semakin merajalela. Kebrutalan, kesadisan, korupsi, kolusi dan penindasan semakin memprihatinkan. Padahal sebenarnya, esensi Dakwah yang terkandung dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi tidak pernah mengenal redup dan luntur. Namun karena keangkuhan dan kealfaan manusialah yang membuat Ayat-Ayat suci yang agung itu hanya menjadi retorika yang indah.untuk mewujudkan keberhasilan Dakwah, pesan-pesan dakwah hendaklah di transformasikan dari retorika kepada realita. Dengan demikian umat yang didakwahi pun akan merasakan satunya kata dengan tindakan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa fungsi dan peran Khotib di masyarakat sangatlah urgen. Hal itu karena seorang yang yang memberikan Pendidikan agama seperti Khotib sama saja dengan seorang yang menasehati seseorang dengan nasihat yang ia ambil dari Al Qur’an dan Al Hadits. Karena itulah. Pengaplikasian terhadap hal-hal apa yang tela di ucapkannya akan menjadi sanagt penting bagai masyarakat sebagai contoh atau suri tauladan.

KESIMPULAN

Ø Seorang Khotib adalah penyampai Risalah Nabi yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadits, karena itulah seorang KHotib harus memiliki kemampuan dalan bidanga Agama dan mengatahui agama dari sumber-sumbernya yang asli. Hal itu Agar dalam menyampaikan segala Risalah Nabi, dia tidak memakukan kekeliruan yang dapat menyesatkan masyarakat dan kaum yang telah ia beri Risalah tersebut.
Ø Menjadi seorang Khotib adalah sebuah profesi yag mulia. Hal itu karena ia telah memilih jalan dakwah yang tujuannya ialah menyiarkan agama Allah kepada orang-orang yang tidak mengetahuinya. Apabila seseorang seseorang telah memilih jalan dakwah, maka dalan alqur’an telah disebutka ia termasuk Khoiro Ummah (sebaik-baik manusia. Itupun apabila ia melakukannya dengan penuh rasa tanggung jawab dan bertujuan semata-mata hany auntuk mencari Ridha dari Allah SWT.
Ø Rasulullah adalah sosok seorang Khotib yang sangat patut untuk dicontoh, karena beliau tidak akan pernah mengucapkan suatu perkataan pun tanpa adanya bimbingan dan Risalah yang datang dari Allah yang melalui Al Qur’an. Selain itu beliau tidak akan mengatakan suatu nasihat kebajikan apabila beliau sendiri belum melaksanakannya.
Ø Peran Khotib menjadi sangat urgen mengingat keadaan umat manusia khususnya masyarakat Islam yang sedang dilanda oleh dekadensi moral dan kerapuhan budi pekerti. Karena itulah praktik langsung yang dilakukan oleh seorang Khotib, dengan menerapkan ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits sangatlah urgen dan wajib untuk dilakukan. Hal itu karena, masyarakat akan lebih senang menirukan seorang yang berbuat baik setelah orang yang itu juga memberi contoh dan melakukannya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Ø An Nahlawi, Abdurrahman. 1983. Pendidikan Islam di Rumah, di sekolah dan Masyarakat. Jakrta: Gema Insani Press.
Ø Daulay, Hamdan. 2001. Makna Dakwah Dewasa Ini, Jogjakarta: Lesfi.
Ø Fadhlullah, Husain Muhammad. 1997. Metodologi Dakwah Dalam Al Qur’an, Jakarta: Lentera.
Ø Halim Mahmud, Ali Abdul. 1995. Dakwah Fardhiyah, Jakarta:Gema Insani Press.
Ø Hefni, Harjani Dkk. 2003 Metode Dakwah, Jakrta: kencana.
Ø Hasan Raqith, Hamad. 2001. Meraih Sukses Perjuangan Da’i, Jogjakarta: Mitra Pustaka.
Ø Musthafa Atha, Muhammad. 1982. Sejarah Dakwah Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu.
Ø Rahmat, Jalaludin. 1978. Teori-Teori komunikasi, Jakarta : Remaja karya.




Tidak ada komentar: